
Oleh Pujo Nugroho
Assalim.id – Seperti biasanya, menjelang Lebaran tunjangan hari raya (THR) akan dibayarkan oleh perusahaan kepada karyawannya. Terlebih dalam keadaan ekonomi yang masih berat saat pandemi sekarang. Pemerintah berharap dengan adanya THR maka daya beli masyarakat akan meningkat. Pemerintah memperkirakan ada potensi riil peningkatan konsumsi sebesar Rp151,2 triliun dari pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 pada Ramadhan 1442 H dan Lebaran tahun ini.
Hal ini ditegaskan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kepada pengusaha agar membayarkan THR secara penuh pada Lebaran 2021 adalah upaya pemerintah memulihkan ekonomi. Pembayaran THR menjadi instrumen pendorong konsumsi. Memperkuat daya beli dan menstimulasi aktivitas konsumsi dan belanja masyarakat.
Namun, dalam kondisi pandemi covid-19 dengan keadaan ekonomi yang sulit tentu pembayaran THR bukan perkara mudah bagi pengusaha. Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta mengatakan tidak semua pengusaha mampu membayarkan THR dengan kondisi cash flow saat ini. Melihat perusahaan ritel saat ini masih terdampak pandemi dan mencoba bertahan (cnbcindonesia.com, 13/4).
Bisnis ritel sebelumnya dibatasi dengan adanya aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro. Cash flow pengusaha sangat terganggu hanya berkutat untuk membayarkan kewajiban seperti gaji, bayar pemasok barang, sewa tempat, juga pajak pajak. Sementara belum ada uang berlebih untuk membayarkan THR.
Sebagian toko ritel juga banyak yang tutup. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Roy Nicholas Mandey, satu toko tutup setiap hari bahkan terus bertambah. Menurutnya, toko yang harus tutup atau bangkrut ini disebabkan karena permintaan lemah di sektor konsumsi. Padahal konsumsi masyarakat sangat menentukan keberlanjutan usaha ritel.
Yang paling hangat adalah apa yang sedang menimpa jaringan restoran cepat saji Kentucky Fried Chicken (KFC). Polemik KFC dengan pekerja berawal dari tekanan pandemi sehingga berdampak pada keuangan yang berdarah-darah. Polemik diwarnai aksi demo dan pengepungan kantor karena adanya kebijakan pemotongan gaji dan pengurangan karyawan. Kabarnya kini kedua belah pihak sudah sepakat terkait besaran upah dan pembayaran THR.
Persoalan THR adalah masalah klasik perburuhan. Seperti halnya juga masalah upah minimum provinsi (UMP) yang selalu bergejolak setiap tahun.
Dalam Islam upah tidak diharuskan mencukupi kebutuhan hidup pokok pekerja apalagi untuk memperbaiki daya beli masyarakat. Besaran upah semata-mata berdasarkan sejauh mana nilai manfaat dari tenaga kerja tersebut. Hal itu ditandai dengan terealisasinya kesepakatan saling rela atas tingkat upah tertentu antara pekerja dan pihak yang mempekerjakan.
Memaksakan pihak yang mempekerjakan pekerja dengan biaya di luar aqad ijarah (upah dan pekerjaan) merupakan bentuk kezaliman terhadap pengusaha/musta’jir. Pengusaha/musta’jir menjadi bertanggung jawab pada hal-hal yang di luar pekerjaan.
Lalu bagaimana kebutuhan para pekerja yang meningkat baik dikarenakan faktor tibanya lebaran atau lainnya terlebih lagi untuk meningkatkan daya beli masyarakat? Jelas, ini adalah tanggung jawab Pemerintah.
Pangkal masalah adalah rendahnya kemampuan keuangan negara. Negara tidak bisa memberikan stimulus yang benar-benar mampu mengembalikan daya beli masyarakat. Lagi-lagi ujungnya adalah kecilnya pemasukan negara dan konsep keuangan (pos penerimaan dan pengeluaran) negara. Yang ada utang yang semakin menggunung. Anehnya ekonomi belum pulih dan pandemi belum teratasi.
Semoga hal ini membuka mata semua pihak, bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang dianut negara saat ini membuat kesengsaraan dan semua pihak merasakannya. Wallahu a’lam.[]