Pandemic Bond, Negara Ngebon Untuk Selamatkan Siapa?

Last Updated: 8 April 2020By

Oleh: Muhammad Ihsan

Aliansi Pengusaha Muslim – Menurut Perppu ini anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana jika melaksanakan tugas Perppu. Disebutkan pula kewenangan BI untuk membeli Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana.

Untuk pembiayaan pada Perppu di atas, akhirnya surat utang dirilis pada selasa (7/4) kemarin. Nilai obligasi yang diterbitkan mencapai US$ 4,3 miliar atau sekitar Rp 69,4 triliun. Nilai surat utang global berdenominasi dolar AS tersebut merupakan yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

Berdasar Perppu tersebut Jokowi mengeluarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020 yang diteken Jokowi, Minggu (5/4).

Pemerintah mengubah perkiraan anggaran pendapatan negara menjadi Rp 1.760,8 triliun. Nilainya turun Rp 472,3 triliun dari sebelumnya Rp 2.540 triliun. Sedangkan anggaran belanja negara meningkat Rp 73 triliun menjadi Rp 2.233,19 triliun. Alhasil, defisit anggaran ditetapkan Rp 852,93 triliun atau 5,07% dari PDB. Angka ini naik dari sebelumnya Rp 307,2 triliun atau 1,76% dari PDB.

Pembiayaan utang pun yang semula hanya Rp 351,85 triliun diubah menjadi Rp 1.006,4 triliun. Ini menjadikan pembiayaan utang di APBN naik 3 kali lipat, tembus Rp 1.000 T. Selain melanggar UU sendiri tentu dalih Perppu untuk pelonggaran defisit untuk corona ini akan membebani APBN dan rakyat di masa depan.

Lalu bagaimana skema Pandemic Bond ini?

Menurut Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono, Pandemic Bond akan berbentuk surat utang pemerintah dalam bentuk rupiah yang bisa dibeli oleh BI dan pihak swasta lain, seperti importir, eksportir, dan investor.

“Dana hasil penjualan surat utang ini, dipegang oleh pemerintah lalu disalurkan ke seluruh dunia usaha dalam bentuk kredit khusus, untuk bangkitkan dunia usaha,” jelas Susiwijono dalam konferensi pers, Kamis (26/3/2020).

Rencana pemerintah ini mengingatkan publik pada mekanisme bantuan likuiditas yang pernah dikucurkan pada era 1998, yakni Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Di mana kegagalan pengelolaan risiko BLBI terbukti meninggalkan masalah yang hingga 30 tahun belum sepenuhnya tuntas.

Moral hazard kasus BLBI terjadi di internal pengawasan BI yang saat itu secara kelembagaan lemah. Dalam aspek inilah faktor moral hazard berpeluang terjadi ketika pelaku usaha dan politisi berusaha masuk untuk “memengaruhi” proses birokrasi yang melibatkan dana triliunan ini.

Jika sebuah perusahaan penerima kredit khusus ini tiba-tiba gulung tikar atau menyatakan pailit setelah menerima kucuran kredit itu, maka pemerintah akan berurusan dengan PKPU dan berpeluang mencatatkan kerugian negara.

Bukankah Pendemic Bond ini sangat potensial menjadi BLBI ke 2? Kita khawatir Pandemic Bond ini digunakan sebagai dalih untuk menyuntikkan lebih banyak uang ke dalam kantong elit kaya.

Kebijakan pemerintah ini menyembunyikan ekonomi yang sudah goyah, dan terkesan menyelamatkan Para kapitalis semata, di mana orang-orang biasa dipaksa melakukan penghematan ekstrem untuk menjaga kekayaan para elite?. Di kondisi darurat seperti ini bukankah nyawa rakyat yang seharusnya diselamatkan dengan memberikan bantuan secara langsung?

Berdasarkan fakta di atas, masyarakat akan menilai pandemic bond ini sebagai bentuk eksploitasi keadaan dimana saat ini rakyat dalam kondisi tertimpa kesengsaraan, tidak patut apabila para elite mencari penyelamatan sendiri.

Kezaliman dan keserakahan seperti ini akan terus menghantui Umat manusia sampai hukum Allah yang Kaffah tegak kembali di muka bumi ini. Sudah saatnya kita membuang sistem kapitalisme yang rapuh ini dan menegakkan sistem Islam yang akan melindungi dan menyejahterakan rakyat.