Palak, Ciri Khas Sistem Kapitalisme
Ulasan Utama Assalim.id | Edisi 79
Oleh: M Azzam Al Fatih
Assalim.id – Melansir dari berita Kompas.com (17/11/2021) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, menyita tanah dan bangunan milik warga Kelurahan Baleharjo berinisial S.
“Hari ini kita menyita aset wajib pajak yang Utang pajak ke KPP yang dimiliki S sebesar Rp 9,485 miliar,” kata Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) DIY, Yoyok Satiotomo ditemui di lokasi penyitaan, Rabu (17/11/2021).
Menurut informasi , tanah dan bangunan milik warga dengan aset senilai Rp 5 miliar tersebut disita kantor KPP Pratama karena telah menunggak atau utang pajak senilai Rp 9,498 miliar.
Kasus penyitaan tanah dan aset bukan kali ini saja namun sering terjadi di negeri ini. Di antaranya terjadi di Kupang, yakni sebidang tanah seluas 2.048 m2 di Desa Raknamo, Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang disita KPP Pratama Kupang. Aset yang disita tersebut milik CV PJU. Disita lantaran Wajib Pajak dengan bidang usaha konstruksi bangunan itu menunggak pajak senilai Rp 2,4 miliar. (Tribunnews.com, 30/8/2021).
Di Blitar, tiga aset tanah dan bangunan seorang pengusaha pakan ternak Blitar di Kec Udanawu, disita KPP Pratama setempat. Dikabarkan pengusaha tersebut telah menunggak pajak sebesar Rp 3,6 miliar. (Detik.com, 16/6/2016).
Apa yang penulis kutip di atas sebagai contoh riil bahwa penyitaan aset karena menunggak pajak sering terjadi di negeri ini.
Bentuk penyitaan seperti ini hanya terjadi dalam sistem Kapitalisme. Di mana pajak merupakan salah satu pemasukan negara dalam menjalankan roda pemerintahan. Jadi, setiap warga negara wajib bayar pajak manakala telat maka terkena denda dan jika nunggak lama asetnya disita oleh negara. Maka, pantaslah jika pajak kata lain dari palak. Ironisnya, yang dipalak rakyatnya sendiri.
Hal ini pun, dipertegas ungkapan Mentari Keuangan Sri Mulyani terkait dengan penagihan pajak. Bahwa berbagai negara di seluruh dunia telah bekerja sama untuk memaksimalkan pendapatan negara melalui penagihan pajak.
Masih menurut Sri Mulyani, di Indonesia sendiri telah diatur dengan undang-undang tentang harmonisasi peraturan perpajakan (UU HPP) tentang kebijakan pajak internasional mengenai penagihan pajak. (Liputan6.com, 20/11/2021).
Sebagaimana kita ketahui bahwa hampir seluruh negara di dunia ini menganut sistem kapitalisme. Tentu saja setiap negara menerapkan pajak sebagai pemasukan untuk menjalankan roda pemerintahan. Maka wajar jika seluruh negara bekerja sama dalam melakukan penagihan pajak seperti yang diungkapkan Sri Mulyani di atas.
Melihat apa yang dilakukan negara-negara penganut sistem kapitalisme dalam menjalankan pemerintahan dalam hal pajak maka negara berlaku zalim dan menyengsarakan rakyatnya. Melakukan penarikan, menaikkan, penagihan, bahkan penyitaan aset adalah kebijakan yang tidak berpihak terhadap rakyatnya.
Jelaslah, semua negara penganut sistem Kapitalisme tidak dapat mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya yang ada adalah kesengsaraan dan ketidakadilan terhadap rakyat. Terkesan yang kaya makin kaya yang miskin makin lemah. Semua gara-gara palak yang dilakukan oleh suatu negara penganut sistem Kapitalisme.
Oleh karena itu, sistem Kapitalisme tidak layak untuk mengatur tata kehidupan manusia. Hanya sistem Islamlah yang layak, sebab sistem Islam berasal dari Wahyu Allah SWT. Aturan yang hanya bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, ijma’ sahabat, dan qiyas. Selain itu seorang pemimpin yang diberi amanah untuk mengurusi rakyat adalah orang pilihan yang senantiasa taat kepada Allah SWT serta takut akan azab di neraka. Sehingga setiap kebijkan yang diambil selalu berstandar pada syariat Islam serta senantiasa berharap pahala dari Allah SWT, Bukan karena jabatan, harta, dan ketenaran. Semoga sistem Islam yang Allah SWT ridhoi ini segara tegak sebagai tata aturan kehidupan sehingga tidak ada lagi pemalakan terhadap rakyat kecil. Wallahua’lam bishshowab.