Pajak Menggila, Ada Apa Dan Bagaimana Pandangan Dalam Islam?
Oleh : M Azzam Al Fatih
Indonesia, negeri dengan berpenduduk muslim terbesar di dunia dibuat geger dengan kekhawatiran dan kegalauan kondisi ekonominya. Penyebabnya adalah wacana kebijakan dengan penambahan pajak nilai ( PPN) yang tadinya 10 % menjadi 12 % serta penarikan pajak baru dari sembako, sekolah, bahkan kelahiran bayi, pun terkena pajak. Hal ini tertuang dalam rancangan undang-undang perubahan kelima UU no 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tatacara perpajakan. sebagaimana dilansir dari berita online iNews.id tanggal 11 Juni 2021
Pedagang pasar adalah salah satu contoh yang mengalami kegundahan akibat kebijakan tersebut. Seperti yang dilansir sebuah berita online kompas Com tanggal 9 Juni 2021.
Selain pedagang, tentu saja konsumen yang notabenenya rakyat kecil dengan berpenghasilan rendah dan menengah.
Kebijakan pajak yang diambil penguasa memang sangat membuat rakyat kecil semakin terbelit dengan kondisi ekonomi. Apalagi masa pandemi yang tidak jelas kapan berakhirnya. Tentu membuatnya semakin sengsara.
Penyebab utama dari kebijakan yang menyengsarakan rakyat tidak lain adalah sistem Kapitalisme. Sistem yang telah menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara dalam menjalankan roda pemerintahan. Semakin banyak penarikan dan tingginya pajak membuat negara bertambah kas negara. Maka jangan heran jika negara penganut Kapitalisme, akan terus menarik dan menaikkan pajak. Apalagi jika kondisi perekonomian negara hancur. Oleh karena itu sistem Kapitalisme hanya akan terus memeras dan memalak rakyat atas nama pajak.
Lalu, bagaimana solusi dan pandangan islam tentang pajak?
Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah SWT dengan sangat sempurna. Yang telah mengatur segala urusan kehidupan manusia sejak bangun hingga tidur kembali, dari urusan kecil hingga urusan besar, dari urusan di kamar mandi hingga pemerintah. Termasuk bagaimana islam mengatur urusan pemerintahan dan bagaimana mengaturnya.
Islam memandang bahwa pajak adalah jenis penarikan sebagian kepemilikan rakyat yang memiliki kelebihan. Yang sebelumnya telah dikurangi kebutuhan pokok dan sekunder. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mencukupi kebutuhan APBN, yang dalam hal ini negara khilafah. Negara khilafah akan menarik pajak manakala Kas Baitul Mall habis sedangkan kebutuhan negara sangat tinggi. Jadi, penarikan pajak bukan menjadi sesuatu yang pokok. Tetapi akan menjadi wajib untuk dilakukan penarikan manakala kondisi kas negara sedang kosong yang akan menimbulkan dharar. Namun, penarikan pajak dalam dalam Islam tidak seperti Kapitalisme yang semuanya ditarik pajak dan tanpa pandang bulu. Islam melakukan penarikan terhadap kaum muslimin hanya kepada yang mampu. Sedangkan yang tidak mampu sama sekali tidak ditarik pajak, apalagi bagi non muslim.
Kemudian, hasil dari penarikan pajak tersebut hanya untuk mencukupi pos – pos yang telah ditentukan oleh syariat seperti dalam bidang jihad, industri perang, santunan fakir miskin, sekolahan, kesehatan , dan infrastruktur lainnya.
Namun setelah kondisi Baitul mal kembali normal maka penarikan pajak di hapus. Dan kemudian kembali menggunakan Baitul mal untuk mencukupi pengeluaran yang ditalanginya dengan penarikan pajak.
Dengan demikian penarikan pajak dalam islam dilakukan dalam kondisi urgent dan dengan ketentuan yang diatur dengan Syara’. Hikmahnya bahwa Islam tidak melarang setiap individu untuk menjadi kaya.
Demikianlah Islam dalam memandang pajak dalam pemenuhan anggaran demi tercukupi kebutuhan negara dan rakyatnya. Di sini jelas, bahwa negara dalam Islam mempunyai tanggung jawab penuh terhadap kondisi negara dan rakyatnya. Berusaha dengan semaksimal mungkin untuk tetap melayani rakyat. Karena sesungguhnya pemimpin adalah pelayan dan pelindung rakyat. Yang selalu memuliakan dan mensejahterakan dunia sampai akhirat.
Wallahua’lam bishowwab