Categories: Ulasan Utama

assalim

Share

Oleh Pujo Nugroho

Assalim.id – Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 Pasal 1 Nomor 1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pembayaran pajak adalah perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Pajak juga memiliki fungsi pemerataan dan distribusi. Pajak digunakan oleh negara untuk pemerataan kesejahteraan melalui bantuan dana, jaminan kesehatan, dan fasilitas umum. Pajak juga bisa digunakan untuk membiayai kepentingan umum sehingga bisa menciptakan banyak lapangan pekerjaan baru yang mana akan berakhir dalam meningkatkan pendapatan masyarakat.

Demikianlah pajak secara konsep menurut teori-teori yang ada. Di Indonesia pajak menempati porsi terbesar sebagai pemasukkan negara. Nilainya sekitar 80-an% dari total penerimaan negara. Dengan demikian pendapatan pajak adalah sumber pemasukan negara yang paling utama.

Adapun jenis-jenis pajak yang ada adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai atau PPN yang merupakan pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak. Kemudian Pajak barang mewah (PPnBM), bea materai, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Selain pajak, sumber penerimaan negara lainnya adalah pembiayaan (utang). Utang muncul karena APBN mengalami defisit, yaitu jumlah pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Bahkan kalau diperhatikan APBN setiap tahunnya selalu didesain untuk defisit. Terlebih lagi ketika pandemi covid-19 di mana penerimaan pajak mengalami penurunan yang sangat besar.

Pada tahun 2020 lalu APBN mengalami defisit sebesar Rp 956,3 triliun. Tentu ditutup dengan utang baru. Dalam kondisi normal saja, besaran utang pemerintah dari tahun ke tahun terus meningkat. Totalnya sampai Februari 2021 utang pemerintah sebesar Rp 6.233,14 triliun. Pada tahun 2021 ini pemerintah harus menganggarkan pembayaran utang sebesar Rp 1.177,4 triliun dengan beban belanja bunga utang sebesar Rp373,26 triliun.

Utang-utang ini dibayar pemerintah dengan membuka utang baru. Bahkan sekadar membayar bunganya saja.

Pembayaran utang pokok beserta bunganya menjadi beban APBN di tahun-tahun berikutnya. Dan tentu saja beban ini sejatinya adalah beban rakyat. Jika terus mengikuti pola membayar utang dengan membuka utang baru maka sangat sulit jumlah utang mengalami penurunan. Jumlahnya selalu pasti bertambah.

Pemerintah berharap melalui utang pembangunan infrastruktur besar-besaran bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi yang berujung pada meningkatnya pajak yang notabene pendapatan negara. Faktanya hal ini tidak terjadi.

Selain seringkali target pertumbuhan ekonomi yang selalu tidak tercapai di sisi lain pertumbuhan ekonomi hanya berdampak pada masyarakat ekonomi kelas atas. Hal ini terlihat dari terus melebarnya jurang kaya dan miskin.

Pada tahun 2017 menurut Oxfam harta milik empat orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.

Dan tentu selama pandemi jumlah penduduk miskin ini terus bertambah. Menurut proyeksi pemerintah ada 3,78 juta orang miskin baru akibat pandemi Covid-19.

Tetapi anehnya jumlah orang kaya malah semakin bertambah. Sebuah fakta yang menunjukkan jurang kaya-miskin semakin melebar.

Menurut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada Februari 2021 simpanan para nasabah kaya yang nominalnya di atas Rp 5 miliar per rekening, meningkat. Pertumbuhannya 13,2% (yoy). Sedangkan yang di bawah Rp 100 juta mengalami penurunan 5,9 (yoy).

Demikianlah problem ekonomi kapitalisme di mana pertumbuhan tidak menetes secara merata ke seluruh lapisan rakyat. Di sisi lain beban utang negara akan terus bertambah yang berarti beban rakyat juga turut bertambah.

Diskusi pajak versus pemerataan ekonomi ini terus berlangsung. Terlebih lagi hal ini bukanlah isu kasuistik Indonesia melainkan problem umum negara-negara bercorak kapitalisme lainnya. Bahkan bagi negara maju sekalipun.

Muncullah istilah pajak progresif. Sebuah kebijakan membebani orang-orang kaya dengan pajak yang besar agar “tarikan” dana pajak tersebut bisa diberikan kepada masyarakat ekonomi bawah melalui berbagai program bantuan sosial.

Faktanya hal ini sulit dilakukan. Program pajak besar selalu dianggap tidak populis yang bisa berdampak penurunan citra. Jika ia calon presiden maka besar kemungkinan kalah di pemilu. Bagaimanapun dalam sistem kapitalisme objek pajak progresif adalah para kapitalis (pemilik modal) yang posisinya sangat penting bagi roda perekonomian.

Karena itu jurang kaya dan miskin selalu menjadi problem bawaan kapitalisme. Wallahua’lam.[]

Editor's Pick

    Leave A Comment

    Related Posts