Pajak Dalam Pandangan Islam

Last Updated: 9 September 2021By

Fokus Ekonomi Assalim.id | Edisi 73
Oleh: M Azzam Al Fatih

Asaalim.id – Pajak seolah menjadi dewa bagi negara penganut kapitalisme yang selalu dianggap sebagai penolong setiap problem ekonomi. Solusi menaikan dan mengambil pajak baru adalah kebijakan yang paling sering dilakukan. Meskipun ada pula alternatif lain, yakni utang. Karena pajak dan utang adalah sumber pemasukan negara dalam sistem Kapitalisme. 

Pajak secara umum adalah pungutan wajib setiap warga kepada negara. Di mana hasil dari pungutan tersebut untuk membiayai pada pembangunan negara. Karena wajib, maka ada sanksi bagi warga negara yang tidak membayarnya berupa sanksi administrasi atau pidana. 

Sebagaimana tercantum dalam undang-undang KUHP pasal 39 ayat 1. Yakni memuat sanksi pidana bagi orang yang tidak membayarkan pajak yang telah dipotong. 

Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan sumber utama pendapatan negara. Jadi wajar jika setiap warga negara wajib bayar pajak. Tidak pandang kaya atau miskin, sehat atau sakit, semua wajib untuk membayarnya. Tatkala Kas APBN mengalami defisit, negara bisa saja menaikkan dan menarik pajak baru. Bahkan semua bidang bisa ditarik.

Alhasil, sistem kapitalisme tidak dapat menjamin kehidupan yang sejahtera bagi rakyatnya. Inilah yang kita rasakan. Namun sebaliknya, justru menyengsarakan.

Lalu bagaimana pandangan Islam tentang pajak?

Islam tidak mengenal pajak. Jikapun ada kutipan terhadap warga negara tatkala Baitul Mal (kas negara) kosong, maka diberlakukan dharibah. Namun bagaimanapun ia berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme.

Dharibah adalah jenis penarikan sebagian kepemilikan rakyat yang memiliki kelebihan yang sebelumnya telah dikurangi kebutuhan pokok dan sekunder. 

Negara khilafah akan menarik dharibah manakala kas Baitul Mall habis sedangkan kebutuhan negara sangat mendesak. Jadi, penarikan dharibah bukan menjadi sesuatu yang pokok sebagai sumber pendapatan kas negara. Tetapi akan menjadi wajib untuk dilakukan penarikan manakala kondisi kas negara sedang kosong yang akan menimbulkan dharar (kerusakan).

Namun, penarikan dharibah dalam dalam Islam tidak seperti penarikan pajak dalam kapitalisme yang mana semua lapisan warga negara dikutip tanpa pandang bulu.

Dharibah diberlakukan hanya terhadap kaum muslimin yang mampu. Sedangkan yang tidak mampu, sama sekali tidak ditarik, apalagi bagi non-muslim.

Kemudian, hasil dari penarikannya hanya untuk mencukupi pos-pos yang telah ditentukan oleh syariat seperti dalam bidang jihad, industri perang, santunan fakir miskin, sekolahan, kesehatan , dan lainnya.

Namun setelah kondisi Baitul Mal kembali normal maka penarikan dharibah segera dihentikan seketika. Dengan demikian penarikan dharibah dilakukan dalam kondisi urgent dan dengan ketentuan syara’.

Melihat praktiknya demikian dharibah bukanlah cara untuk memotong kekayaan warga negara yang memiliki harta berlebih. Karena dharibah hanya dilakukan ketika kondisi genting dan Baitul Mal kosong. Jika kondisi Baitul Mal tidak kosong, negara tidak akan memotong harta rakyat sepeserpun dan seberapapun kayanya ia.

Dengan dharibah pula bisa tersalurkan jiwa saling tolong, peduli keberlangsungan negara dan agama, serta semangat berbagi.

Demikianlah Islam dalam memandang dan melakukan kebijakan penarikan dharibah. Di mana hal ini dilakukan dalam rangka meri’ayah (mengurusi) rakyat dan menyelamatkan negara. Sebab dalam Islam seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab penuh terhadap kondisi negara dan rakyatnya.

Ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk tetap melayani rakyat walau keadaan negara lemah. Karena sesungguhnya pemimpin adalah pelayan dan pelindung rakyat yang selalu memuliakan dan mensejahterakan rakyatnya dunia dan akhirat. Wallahua’lam bishowwab.[]