“Pajak Atau Palak” Siapa Untung Siapa Buntung ?

Last Updated: 21 September 2021By

Agan Salim

Sebagai negara yang mengadopsi sistem kapitalisme, maka “platform” pajak sebagai instrument pemasukan negara adalah wajib. Sebagai instrument pemasukan negara, pajak juga diniatkan sebagai cara untuk menegakkan sistem ekonomi yang berkeadilan.

Sederhananya orang kaya akan dipajaki, dan hasil pajaknya akan diberikan kepada rakyat kecil atau miskin dalam berbagai bentuk kemudahan dan fasilitas.

Niat mulia ini tidaklah seindah penerapannya, baru-baru ini menteri keuangan Sri Mulyani secara resmi mengajukan kebijakan pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok atau sembako, jasa pendidikan atau sekolah, dan jasa kesehatan. Menurutnya, opsi kebijakan ini sengaja diberikan agar azas keadilan dapat diwujudkan ungkapnya kepada Komisi XI DPR RI (CNN Indonesia 13/9.2021).

TRISH Henessy dalam salah satu bab buku yang berjudul “The Great Revenue Robbery” mengatakan bahwa “Pajak adalah pemberian dari generasi ke generasi. Itu adalah warisan publik kami”.

Dari asumsi inilah pembangunan negara yang sebagian besar didanai dari pajak yang kemudian akan menentukan seberapa besar modal yang akan “diterima” generasi mendatang.

Sayangnya, realitas banyak negara yang mengadopsi terori ini mengalami realitas sebaliknya, keberlangsungan negaranya malah didanai utang yang nantinya beban tersebut jugalah yang “diwariskan” untuk nantinya dibayar oleh generasi berikutnya.

Alih-alih pemberlakuan pajak memberikan “trickle down effect” akan kenikmatan yang diterima oleh penduduk kaya yang akan juga dinikmati oleh penduduk miskin, sistem yang mengagung-agungkan free will dan efisiensi ini pada akhirnya dinikmati oleh lapisan kelompok orang kaya dan para oligarki saja, seperti tax amnesty dan insentif pajak.

Belum lagi dari sisi sistemnya yang rapuh ala kapitalisme. Penghindaran dan penggelapan pajak sangat dimungkinkan oleh orang-orang super kaya dan para oligarki. Keberadaan “tax haven” dan akses para konsultan keuangan yang mampu mengeksploitasi kelemahan sistem pajak, serta kemampuan melobi oknum pemerintah dan penguasa menegaskan bagaimana kekayaan suatu negara dengan mudah dirampok.

Melihat realitas diatas, sudah bisa kita simpulkan siapa yang untung dan buntung dalam penerapan pajak yang menyasar disemua aspek kehidupan disebuah negara.

Praktek anomali ini tidak akan kita jumpai kalau sebuah negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam. Karena dalam aplikasi sistemnya, pemerintah tidak diperkenankan bahkan diharamkan memungut pajak secara rutin dan terstruktur.

Pajak hanya akan diwajibkan ketika dana Baitul Mal kosong atau tidak mencukupi, sementara ada pembiayaan yang wajib dilakukan dan ditunaikan oleh negara.

Bahkan ada beberapa ketentuan tentang kebijakan dharîbah (pajak) dalam syariah Islam, yang sangat berbeda secara diametral dengan pajak dalam sistem ekonomi kapitalis. Seperti pajak hanya bersifat temporer dan tidak kontinu, hanya dipungut untuk pembiayaan yang bersifat wajib bagi kaum muslim, hanya dipungut dari orang kaya, dan jumlah yang dipungut tidak boleh melebihi kebutuhan Baitul Mal.

Ringkasnya, dalam sistem Islam pajak hanya digunakan sebagai penyangga dalam kondisi darurat. Dengan begitu pemerintah tidak perlu membebani umat dengan pajak, dan umat tidak terbebani dengan pajak, apalagi bagi rakyat kecil yang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja teramat susah, tentu merasa dipalaki bukan dipajaki sepanjang hayatnya. Wallâhu a’lam biash-shawâb.