
Oleh : Haris Abu Muthiah.
Kapitalisme sebagai sebuah sistem, ibarat organ tubuh manusia yang saling bekerjama satu sama lainnya. Jantung adalah pusat peredaran darah yang akan menentukan hidup matinya seorang manusia. Jantung sangat bergantung dari aliran darah yang dipompakan secara terus menerus.
Begitu juga dengan sistem Ekonomi Kapitalisme, jika tubuhnya adalah pasar bebas (ekonomi liberalisme). Aliran darahnya adalah uang kertas. Jantungnya adalah lembaga perbankan dan pasar modal. Maka pompa jantungnya adalah suku bunga.
Lembaga perbankan sebagai jantung Ekonomi Kapitalisme sebagai penentu sehat atau sakitnya ekonomi. Jika sehat akan menghegemoni dana-dana masyarakat dan menyedot sisa-sisa uang di sektor rumah tangga yang tidak digunakan untuk konsumsi kepada para pengusaha besar.
Jika perbankan sakit maka terjadilah resesi ekonomi yang tak terhindarkan. Inilah yang terjadi saat krisis ekonomi tahun 1997-1998 melanda negeri ini, yang diselamatkan terlebih dahulu perbankannya, tidak peduli berapa jiwa yang mati kelaparan. Rp 650 triliun dana disuntikkan hanya untuk menyehatkan jantungnya.
Bandingkan dengan resesi ekonomi yang terjadi disaat virus Covid-19 saat ini, hampir semua sektor terimbas. Penduduk miskin pada Maret 2020 mencapai 26,42 juta orang, pengangguran 9,7 juta orang per September 2020. Utang negara Rp.5.600 triliun, tapi ternyata masih mampu dikendalikan negara.
Mengapa?. Ya, karena lembaga keuangannya masih kuat. Secara signifikan belum terimbas, bahkan ada dana Rp.1.200 triliun masih ‘terparkir di Bank BRI yang belum disalurkan kepada pengusaha. Selain itu rupiah masih mampu bertahan dari serangan dolar di pasar saham.
Beda dengan krisis ekonomi 1997-1998 perbankan dan pasar saham anjlok secara dramatis sehingga krisis ekonomi pun tak terelakkan. Kendati demikian ini hanya seperti fenomena gunung es yang tinggal menunggu waktu meledak. Sejumlah indikator menuju kesana bisa terbaca secara transparan.
Loan at risk (LAR) atau resiko gagal bayar dari pada debitur misalnya, Bank Indonesia (BI) mencatat hingga kini sudah dilevel 23 persen padahal pada 2019 lalu masih 9,93 persen. Tahun depan kalau debitur masih gagal bayar maka akan terjadi lonjakan NPL (Non Performing Loan) tak terhindarkan. (kompas, 7/12/2020).
Sedangkan NPL atau kredit macet gross industri perbankan per Oktober 2020 dalam catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 3,5 persen. Hingga 20 November 2020 total kredit yang direstrukturisasi dari 7,53 juta debitur sudah mencapai 932,6 triliun. (kompas, 7/12/2020).
Selain dibayang-bayangi ledakan besarnya NPL, pertumbuhan kredit pada akhir September 2020 minus 0,4 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. (bisnis.com, 28/10/2020). Karena itu BI Indonesia menurunkan BI rate dari 4 persen menjadi 3,75 persen namun penyaluran ke pihak ketiga belum bertumbuh.
Sudahlah jantung dan pemompa jantungnya bermasalah, aliran daranya berupa uang kertas juga tidak bisa diandalkan, mengapa?. Karena sangat mudah sekali terdepresiasi oleh pengaruh mata uang asing yang menekannya. Rupiah juga memiliki karakter soft currency yang artinya rupiah sangat sensitif dengan perekenomian internasional.
Tapi mengapa hingga hari ini rupiah masih bisa bertahan?. Menurut ekonom senior Rizal Ramli karena AS sedang mencetak banyak uang untuk memberikan stimulus ekonomi nasional hingga US$ 2 triliun. Selanjutnya terus didoping dengan pinjaman luar negeri dengan bunga membengkak.
Pertanyaannya, sampai kapan negara mendoping perekonomian dengan utang, bukankah utang semakin membengkak?. Sampai kapan rupiah bisa melawan keperkasaan gempuran dolar?. Sampai kapan lembaga perbankan bisa bertahan yang hanya mengandalkan kekuatan sumber dana-dana dari masyarakat?.
Pastinya, kita tidak bisa kita tidak berharap banyak pada Ekonomi Kapitalisme akan mampu memberi keadilan dan kesejahteraan karena seluruh organ penggeraknya gagal fungsi yang tinggal menunggu waktu sempoyongan.
Wallahu a’lam bi ash shawab.