Categories: Editorial

assalim

Share

Oleh Haris Abu Muthiah.

Baru saja Presiden Jokowi melakukan resuffle kabinet. Banyak kalangan optimis akan memperbaiki ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk, apalagi masuknya beberapa nama yang dianggap memiliki SDM dan latar belakang pengalaman yang luar biasa. Salah satunya Sandiaga Uno. Benarkah demikian?

Harus diakui bahwa resuffle kabinet yang terjadi disetiap perjalanan rezim hanyalah kebijakan ‘tambal sulam’ yang tidak pernah membawa perubahan lebih baik.
Era Jokowi misalnya, lima kali mengganti komposisi para pembantunya hasilnya tidak memberi pengaruh signifikan terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Alih-alih memperbaiki manajerial pemerintahan, memperkuat sinergi dan koordinasi lintas kementerian, menghilangkan korupsi, nyatanya korupsi semakin subur.  Sejak didirikan pada 2003, Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) telah menetapkan 12 menteri,  terdiri dari 4 orang menteri pada era Presiden Megawati, 6 menteri era SBY dan 3  era Jokowi sebagai tersangka korupsi (kompas.com. 26/11/2020).

Korupsi juga terjadi diluar kabinet. Sejak tahun 2004 hingga Mei 2020 Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) mencatat ada 397 pejabat politik yang terjerat kasus korupsi di 27 dari 34 provinsi. Anggota DPR/DPRD 257, wali kota/bupati 119,  21 gubernur. Data Indonesia Corruption Watch yang menggabungkan jumlah kasus yang ditangani KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, ada 253 kepala daerah dan 503 anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka korupsi.

Mengapa mereka korupsi?, apakah karena orangnya yang bermasalah atau sistem demokrasi yang memberi peluang untuk melakukan itu?. Laporan penelitian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 2016 menyebutkan bahwa penyebab kepala daerah melakukan korupsi adalah monopoli kekuasan, diskreasi kebijakan, lemahnya akuntabilitas, mahalnya biaya pemilukada.

Kepala daerah memiliki kekuasaan yang sangat besar menerima suap dan gratifikasi dalam pengelolaan anggaran APBD, perekrutan pejabat daerah, pemberian ijin sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa dan pembuatan peraturan kepala daerah. Termasuk pada saat mencalonkan diri menjadi kepala daerah tidak sedikit biaya dikeluarkan akibat biaya pemilukada langsung yang sangat mahal (www.bpkp.go.id).

Fakta ini bisa dipahami bahwa korupsi terjadi bukan hanya karena orangnya yang bermasalah tapi lebih pada sistemnya yang ‘rusak’, yaitu Kapitalisme. Akibat sistem ini sulit menemukan pemimpin yang baik dan benar-benar profesional dan mandiri dalam bekerja. Mahfud MD mengatakan, malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia bisa jadi iblis (republika, 7/10/2013).

Karenanya, masuknya orang-orang hebat seperti Sandiaga Uno sebagai menteri dalam sistem Kapitalisme tidak akan bisa berbuat maksimal, mengapa?, karena sistem Kapitalisme dengan demokrasinya memiliki mekanisme aturan sendiri yang memaksa setiap orang mengikutinya.

Sistem Kapitalisme dikendalikan oleh para Kapitalis yang memiliki modal besar. Para Kapitalis punya andil besar menyokong dana setiap Pilpres atau Pilkada. Mahfud MD mengatakan 92 persen Calon kepala daerah dibiayai oleh cukong dan sesudah terpilih akan melahirkan korupsi kebijakan (www.jawapos.com, 12/9/2020).

Karena itu, pilihannya bertahan dengan mengikuti mekanisme demokrasi yang ada dan terjebak di dalamnya atau meninggalkan sistem tersebut dan melakukan perubahan dari luar sistem.

Memilih bertahan, akan bernasib seperti KH. Makruf Amin. Tahun 2003 saat menjabat ketua MUI beliau mengeluarkan fatwa bunga bank haram. Tapi, saat  menjadi wapres Jokowi tidak pernah sekalipun mempersoalkan pinjaman luar negeri yang berbasis bunga.

Kenyataannya, di era kepemimpinannya saat ini utang negara bertambah. Hingga 30 November 2020 mencapai Rp 1.065,1 triliun bertambah 140,2% dibandingkan periode yang sama di tahun 2019 yang hanya Rp 465,1 triliun (Kontan.id, 20/12/2020). Bukan hanya pokok utang tapi bunganya juga bertambah.

Jika pada tahun 2016-2019, pembayaran bunga utang Rp275,5 triliun. Tahun 2020, outlook pembayaran bunga utang sebesar Rp338,8 triliun. Bahkan dalam nota keuangan dan RAPBN 2021, pemerintah menganggarkan Rp 373,3 triliun untuk pembayaran bunga utang (www.cnbcindonesia.com, 14/8/2020).

Lalu mengapa pak Kiyai tidak pernah tegas mengatakan bahwa bunga pinjaman luar negeri adalah riba?. Bukankah  riba merupakan salah satu perbuatan yang sangat dibenci Allah SWT?. Bahkan terdapat perintah tegas meninggalkan riba dan ancaman keras bagi siapa saja yang melakukan perbuatan tersebut.

Allah SWT berfirman dalam surah al baqarah 276-279, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”

Ya, inilah wajah demokrasi!. Perubahan apapun yang akan dilakukan pertimbangannya untung rugi, seperti dalam perseteruan gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan pemerintah pusat. Diawal Covid-19 melanda Indonesia, Anies memutuskan pembatasan transportasi publik, setop layanan bus AKAP, dan karantina wilayah. Namun akhirnya dibatalkan pemerintah pusat (merdeka.com,1/4/2020).

Jadi berhentilah berharap pada sistem yang rusak!. Masuknya orang baik dalam sistem seperti ini tidak akan menjadi baik, bahkan bisa menjadi rusak. Maka yang dibutuhkan adalah sistem yang baik, yakni sistem Islam yang bersumber dari yang maha baik. Dengan sistem Islam orang baik akan bertambah baik. Orang buruk dipaksa jadi baik.

Wallahu a’lam bi ash shawab.

Editor's Pick

    Leave A Comment

    Related Posts