Omnibus Law Beban Berat Buat Segenap Rakyat
Oleh : Widady.
Aliansi Pengusaha Muslim – Sahabat Assalim, jika kita telisik lebih jauh, Fakta Omnibus Law kini bukan lagi ucapan “Sugeng Rawuh” atau Selamat Datang karena fakta bahwa
kapitalis asing sudah lama hadir dan menguasai kekayaan alam negeri kita Indonesia.
Dengan disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang 1000an halaman, yang dari drafnya saja sudah berpolemik gonta-ganti jumlah halaman.
Bahkan bisa jadi, yang punya hajat kini sedang
mempersiapkan syukuran untuk pesta pora para atas lolos dan disahkanya UU ini, yang diduga syarat dengan banjakan asing, aseng, pengusaha anak negeri serakah yang jadi “underbownya”.
Diduga dengan payung hukum UU ini, Para investor bisa dengan mudah dan makin leluasa mengeksploitasi Negeri ini atas nama investasi, mereka bisa menjarah harta milik rakyat dan dilindungi oleh UU ini.
Dugaan ini bukanlah berlebihan kalau melihat dari berbagai pasal di kluster UU ini yang banyak ditolak dan buat gaduh seisi negeri.
Dari pengaturan kawasan ekonomi khusus (KEK), penanaman modal, pengelolaan aset negara, dan ketenaga kerjaan yang diduga syarat dengan nuansa liberalistik dan lebih menguntungkan pemodal (oligarki).
Dan kelaliman ini bermula dari cacat bawaan sistem negara lewat instrument demokrasi. Dimana usulan pemerintah dan wewenang DPR dalam membuat Omnibus Law ini.
Sistem ini menempatkan manusia sebagai Haakim yang menetapkan hukum ,berkaitan dengan
masalah hukum yang akan diadopsi negara.
Yang akhirnya memberikan jalan kemudahan kepada para kapitalis/pemodal asing (pengusaha hitam)
menguasai negeri yang mayoritas Ummat Islam.
Dampak turunannya, akhirnya semakin lemahnya peran negara sebagai institusi, bukan menegakkan hukum, memelihara dan melindungi rakyatnya dan sumber alamnya.
Tapi justru semakin terbukanya jalan dikuasainya sektor-sektor strategis oleh swasta, yang berdampak menimbulkan kerusakan lingkungan dan tatanan kehidupan rakyat.
Dan fakta ini semua, sahabat yang budiman; menandakan bahwa sikap rezim yang tampak bergaya otoriter dalam membuat aturan ini berpotensi membuat “rakyat cilaka” bukan cipta kerja seperti namanya. Sehingga seharusnya dicabut dan tidak diundangkan lagi. [AW]