Categories: Fokus Ekonomi

assalim

Share

Fokus Ekonomi Assalim id | Edisi 98
Oleh: Agan Salim

Assalim.id – Naiknya harga minyak goreng, batubara dan bahan makanan pokok belakangan ini adalah contoh nyata relasi bagaimana kebijakan negara yang harus mengikuti kepentingan swasta yang tak lain adalah para oligarki. Ini bisa dilihat dari tak berdayanya negara dalam mengatasi derasnya import barang kebutuhan pokok rakyat bahkan untuk kebutuhan belanja negara sekalipun.

Beberapa hari lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan rasa geram dan jengkelnya akan ‘budaya’ impor. Hal itu diungkapkan Jokowi saat memberi pengarahan tentang Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia di Bali, Jumat (25/3/2022).

Sungguh satu ungkapan yang miris dan tragis, apalagi dengan masa kepemimpinan yang sudah 8 tahun berjalan, dan yang dikeluhkan pun barang-barang import berbasis manufacturing.

Padahal ada yang lebih tragis dari fenomena impor, yaitu komoditas berbasis agraris yang nyata-nyata infrastruktur penopangnya berupa alam yang subur dengan mayoritas rakyatnya sebagai petani, tapi faktanya negeri ini harus bergantung dengan impor.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Juli 2021 Indonesia diketahui melakukan impor beras sebanyak 41,6 ribu ton dengan nilai mencapai US$ 18,5 juta atau setara dengan Rp 266,4 miliar (kurs Rp 14.400/US$). (CNBC Indonesia)

Realitas dan faktor penyebab tidak berdayanya negara yang pada akhirnya harus mengikuti keinginan swasta/oligarki lokal maupun global dalam setiap kebijakan khususnya ekonomi adalah sebuah realitas yang mudah dibaca.

Semua berawal dari bagaimana sistem kapitalisme bekerja, dengan jargon globalisasinya telah berhasil melenyapkan berbagai hambatan, berbagai tarif, berbagai biaya masuk, berbagai pajak, dan ketentuan-ketentuan suatu negara dalam mengatur perekonomiannya. Apalagi negeri ini yang jumlah penduduknya sangat besar, tentu sangat mengiurkan bila dijadikan target pasar.

Pada tatanan implementasi, para kapitalis berjubah oligarki melakukan langkah pertamanya lewat jargon pentingnya swastanisasi, yakni mengubah sektor publik menjadi sektor swasta. Inilah awal bagaimana pemerintah menjalankan semua regulasi yang bergerak melayani kepentingan sektor swasta. Akhirnya dengan konsep swastanisasi inilah keberadaan korporasi menjadi lembaga ekonomi utama yang pada akhirnya menguasai perekonomian secara nyata seperti yang kita rasakan saat ini.

Belum puas atas pencapaian tersebut, kapitalisme dengan jargon globalisasinya juga menginjeksikan satu implementasi berupa sistem pasar yang disebut pasar modal. Di sanalah pasar saham, surat berharga, pasar mata uang di perdagangakan yang pada akhirnya menjadi alat para kapitalis untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar tanpa harus susah-sussah melakukan kegiatan ekonomi yang rill bahkan tanpa adanya investasi secara riil sekalipun. Bahkan pasar modal ini telah berubah wujud menjadi alat penjajahan dan efektif dan efisien.

Inilah yang sebenarnya akar dari tingginya harga batu-bara, minyak goreng, gas dan bahan pangan lainnya, karena sistem perdagangannya tidak terjadi di sektor riil, tetapi justru terjadi di pasar modal bahkan dengan pola kontrak jangka panjang.

Muara dari semua kekacauan ini pada prakteknya menghasilkan bentuk negara yang terjajah dimana para pemilik modal/oligarki yang kian berdaulat bahkan negara harus mengikuti kehendak pasar dan pemilik modal, sedangkan rakyat hanya bisa pasrah dan kian menderita.

Hal di atas sejatinya adalah residu peradaban yang sampai kapanpun akan terus berlanjut kalau tidak segara dihentikan. Dan solusi menghentikan hal tersebut ada dalam sistem ekonomi Islam. Karena dalam sistem peradaban Islam, regulasi negara diatur dengan syariat Islam secara kaffah yang dengannya stabilitas harga adalah fakta yang bisa dilihat secara periodik.

Realitas itu bisa terjadi karena saat sistem ekonomi Islam dijalankan maka sektor yang berpotensi gharar, maysir dan riba seperti pasar modal akan dihentikan, maka ketersediaan supply and demand akan terjaga, penimbunan barang akan diberikannya hukuman yang keras dan berbagai penguasaan sumber daya alam dan pasar yang vital akan diatur dengan standar syariah. Sehingga realitas ekonomi yang nyaris tanpa inflasi akan ini sangat memungkinkan.

Dari sanalah akan terwujud tata kelola ekonomi yang berkeadilan dan mensejahterakan bisa diwujudkan. Jauh dari realitas rusak terjadi saat ini. Wallahua’lam []

Editor's Pick

    Leave A Comment

    Related Posts