Negara Menumpuk Utang, Rakyat ‘Terzalimi’, Sampai Kapan ?

Last Updated: 9 Juni 2021By

Abu Nabhan

Sejak pandemi Covid-19 utang luar negeri menjadi ‘senjata’ pemerintah untuk memperbaiki ekonomi nasional dan memutus rantai penyebaran virus Corona. Dampaknya negara tiada henti terus menumpuk utang. Posis utang negara hingga April 2021 mencapai Rp6.527 triliun

Tahun ini rasio utang diprediksi 50-55 persen dari produk domestik bruto (PDB). Fenomena ini menurut para pengamat ekonomi dianggap berbahaya. Mengapa?, karena selama ini APBN hanya mengandalkan pajak sebagai sumber utama pemasukan, sementara rasio pajak terus menerus turun.

Ini belum termasuk dengan utang BUMN yang terbukti saat terjadi masalah gagal bayar utang, juga akan menjadi tanggung jawab pemerintah. Sudah banyak contoh kasus BUMN yang dibailout pemerintah, seperti Garuda Indonesia, Jiwasraya, Asabri, Dirgantara Indonesia, dan banyak lainnya.

Utang BUMN hingga kini tercatat mencapai kurang lebih Rp2.100 triliun. Maka secara keseluruhan sekitar Rp8.627 triliun. Bahkan dalam hitungan eks Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu, total utang pemerintah dan BUMN sekitar Rp11.000 triliun, atau setara sekitar 75 persen terhadap PDB.

Anehnya, sudahlah utang terus menumpuk tapi pemerintah justru menganggabnya hal biasa-biasa saja dan tidak menjadikan beban sedikitpun . Pemerintah seakan tidak fokus menanganinya. Buktinya, pemerintah lebih sibuk mempersoalkan ormas, ulama, pejuang Islam yang dianggap berbeda dengan pandangan penguasa lalu dilabeli radikal, teroris, anti pancasila, intoleran, dan lain-lain sebagainya.

Padahal para ekonom sudah memperingatkan pemerintah jauh-jauh hari kalau kondisi utang sudah sangat berbahaya. Bahkan sembilan tahun silam , saat itu utang negara Rp1.800 triliun, eks Menko Perekonomian era Megawati, Kwik Kian Gie, mengatakan, pemerintah bakal sulit menyelesaikan jumlah utang yang ada. Menurutnya utang-utang ini penipuan luar biasa. Mengapa?

Utang itu tidak disebut utang dalam APBN, tetapi pemasukkan pembangunan dalam negeri. Padahal yang terjadi lebih besar pasak daripada tiang atau dengan kata lain lebih besar pengeluaran dari pemasukan. Akibatnya, 40 tahun lebih lamanya anggaran minus ditutupi utang. Anggaran dipaksa harus berimbang, biar bisa disebut berimbang.

Jika seperti ini cara berpikirnya maka negara tidak akan berhenti berutang. Jelas ini akan beban yang tidak semestinya pada generasi mendatang. Jika diasumsikan utang negara Rp6.527 triliun di bagi dengan jumlah penduduk tahun 2021 sebanyak 271.349.889 jiwa, maka setiap penduduk terbebani utang kurang Rp24 juta.

Lalu bagaimana caranya setiap jiwa terbebas dari beban utang, apakah setiap individu mengeluarkan uang masing-masing dari dompetnya?. Tidak!, negara tidak meminta uang secara langsung, tapi menarik pajak dari rakyatnya secara paksa.

Semua kena pajak. Mulai dari penghasilan yang akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh), pembelian barang-barang yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Materai, pajak pulsa listrik, serta mungkin ada jenis pajak lain di masa yang akan datang yang akan muncul sesuai perubahan jaman.

Bukankah ini namanya zalim?. Negara terus berutang tapi rakyat yang harus bayar. Nah, apakah fenomena seperti ini akan dibiarkan terus menerus tanpa ada upaya menghentikannya?. Bukankah rakyat sendiri serba kesulitan. Lapangan kerja kurang, pendapatan menurun. Sedangkan harga-harga bahan pokok serba mahal?

Inilah yang disebut problem sistemik, yang hanya bisa diselesaikan secara sistemik pula. Tapi sistem seperti apa yang bisa menyelesaikannya?. Jelasnya, berharap pada Kapitalisme tidak mungkin. Selain Kapitalisme gagal memberikan kesejahteraan juga menjadi penyebab utama munculnya berbagai problematika ditengah umat.

Maka satu-satunya sistem yang bisa memandirikan negara tanpa utang adalah Islam. Dengan sistem kepemimpinannya yang berdasarkan wahyu, yakni sistem khilafah. Sistem ini tidak akan sedikitpun menghianati rakyatnya. Khalifah tidak akan mengambil utang jika utang itu justru menjadi beban negara dan rakyatnya, tidak akan mengambil utang jika utang itu mengandung riba.

Negara hanya akan mengambil utang jika negara pemberi utang tidak memberi syarat apapun, itu pun jika kondisi perekonomian negara benar-benar tidak mampu. Maka khalifah punya mekanisme khusus, yakni memaksimalkan seluruh pendapatan yang bersumber dari kepemilikan umum . Selanjutnya khalifah akan melakukan efisiensi pengeluaran yang tidak mendesak.

Jika semua mekanisme diatas telah dilakukan secara maksimal oleh khalifah namun kondisi keuangan negara tidak normal, maka negara boleh menarik pajak (dharibah) untuk sementara waktu kepada kaum muslim yang masuk kategori kaya. Jadi pajak bukan sumber utama pendapatan negara sebagaimana dalam sistem Kapitalisme.

Model sistem pengelolaan keuangan negara seperti ini secara empiris telah terbukti di era khalifah Umar bin Abdul Azis. Khalifah tidak menarik pajak tapi rakyatnya sejahtera . Bahkan tidak ada lagi rakyatnya yang mau menerima zakat.

Maka sejatinya, sistem Islamlah yang harus diperjuangkan. Sistem Islamlah yang mestinya mengatur seluruh sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka saatnya kita menyadarkan umat dan penguasa agar kembali pada Islam sebagai satu-satunya sistem yang memanusiakan manusia.

Wallahu a’lam bi ash shawab.