Negara Korporatokrasi Bermental Kleptokrasi

Last Updated: 22 Oktober 2021By

Fokus Utama Assalim.id. | Edisi 78
Oleh: Agan Salim

Assalim.id – Fenomena menguatnya korporatokrasi bermental kleptokrasi kian nyata di negeri ini. Indikasi ini dapat dilihat dari semakin lumpuhnya lembaga anti-riswah KPK melalui revisi UU KPK. Kekuasaan Dewan Pengawas yang besar dapat menjadi kepanjangan tangan para oligarki. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tindak korupsi selalu dicirikan dengan kerjasama antara pejabat dengan pengusaha.

Hal senada di sampaikan oleh Prof. Tamrin Amal Tomagola, Sosiolog Universitas Indonesia menyebut korupsi yang terjadi di Indonesia semakin ke sini, semakin memburuk. Hal itu disebabkan karena terjadinya penguatan konsolidasi antar elite oligarki politik (Muhammadiyah.or.id, 20/03/21).

Jalan ini semakin lebar dan mulus dengan lahirnya undang-undang sapu jagat omnibus law, UU Cipta Kerja. Karena sejatinya omnibus law dibuat lebih untuk memperkuat posisi investor atau pengusaha (oligarki).

Ada banyak ilmuwan sosial politik yang mencoba menilai Indonesia era pemerintahan atau rezim yang berkuasa saat ini melalui riset ilmiah. Di antara ilmuwan yang melakukan riset tentang negeri ini dalam perspektif kekuasaan dan demokrasi adalah Profesor Edward Aspinall dan Profesor Marcus Mietzner dari Australia National University (ANU). Kedua ilmuwan ini menyebut bahwa saat ini demokrasi Indonesia sedang berada di titik terendahnya.

Di antara penyebab regresi demokrasi tersebut adalah korupsi yang tinggi dan nasionalisme gaya baru. Demi kepentingan korupsi dan atas nama nasionalisme, kemerdekaan rakyat dibelenggu dengan berbagai cara (tempo.co 19/10/21).

Relasi korporatokrasi berujung kleptocracy juga dapat dilihat dari data KPK 2019 dimana lebih dari 60 persen dari seluruh pelaku korupsi yang ditangani KPK merupakan korupsi politik atau dilakukan oleh para politisi. Angka korupsinya bisa mencapai ratusan triliun rupiah, dan bahkan dengan sangat tega mengkorupsi uang bansos yang seharusnya untuk rakyat miskin. Jadi wajar kalau ada yang menyebut bahwa rezim ini adalah rezim kleptokrasi (kekuasaan para maling).

Secara etimologis, istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein yang berarti kekuasaan yang diperintah oleh para pencuri, para maling yang bertopeng penguasa yang dipilih secara elektoral.

Istilah kleptokrasi sendiri dipopulerkan oleh Stanislav Andreski dalam karya klasiknya, Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968), yang menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah menumpuk kekayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi tersebut sambil memegang jabatan publik.

Pola kekuasaan seperti ini punya daya rusak yang sangat terstruktur, sistematis, dan massif. Lihat saja bagaiman mereka bisa membeli semua perhelatan electoral dari tingkat pusat sampai daerah, punya pasukan pendengung (buzzer) untuk melindungi persekongkolan, dan puncaknya adalah produk undang-undang korporatokrasi bermental kleptocracy.

Sebut saja UU Minerba (2020) dan UU Cipta Kerja (2020) yang dengan mudah jadi alat bancakan APBN, kekayaan alam, dan mengeksploitasi buruh.

Kerusakan fakta di atas bukanlah teknis ekonomi dan politik semata, karena sejatinya ini akibat dari penerepan hukum buatan manusia yang serba lemah, subjektif, jauh dari rasa keadilan dan rahmat pencipta alam semesta Allah SWT.

Sudah harusnya peringatan Allah SWT menjadi renungan kita semua untuk menyudahi kerusakan tersebut, “Apakah hukum jahiliyah yang kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah : 50) [].