Negara Dikuasasi Penimbun

Last Updated: 18 Maret 2022By

Fokus Ekonomi Assalim.id | Edisi 97
Oleh: Pujo Nugroho

Assalim.id – Pemerintah seperti dipermainkan oleh pengusaha minyak goreng. Diketahui di seluruh Indonesia, minyak goreng menjadi barang langka dan harganya sangat mahal. Namun kini melimpah ruah tatkala harga sudah dibebaskan.

Semenjak kelangkaan dan kenaikan harga yang terjadi di akhir tahun 2021 pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) dengan maksud agar harga tidak bergerak liar dan problem kelangkaan minyak goreng bisa diatasi.

Bukannya selesai, salah satu komoditas pokok ini malah hilang. Wal hasil berbulan-bulan minyak goreng mahal dan langka. Seolah pengusaha ogah dengan harga yang diikat pemerintah tersebut.

Kini semenjak pemerintah mencabut aturan HET mendadak minyak goreng muncul di pasar dengan harga melambung tinggi. Minyak goreng kemasan memenuhi rak-rak toko ritel besar.

Memang saat ini Kementerian Perdagangan tengah melakukan pencabutan ketentuan HET minyak goreng untuk menyesuaikan harga minyak goreng dengan nilai keekonomian yang berlaku di pasar global.

Sehingga minyak goreng satu harga yakni Rp 11.500 untuk minyak goreng curah per liter, Rp 13.500 untuk minyak kemasan sederhana dan Rp 14.000 untuk minyak goreng medium tidak berlaku.

Seusai pencabutan HET berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) per hari ini, harga minyak goreng tertinggi berada di Sulawesi Tenggara mencapai Rp47 ribu per liter.

Atas indikasi ini pula diduga telah terjadi penimbunan stok minyak goreng di berbagai peritel besar. Mereka menunggu momen HET dicabut.

Anggota Komisi VI DPR Achmad Baidowi menilai ada praktik penimbunan dari gejala ini.

“Pasokan minyak goreng langsung tersedia di berbagai toko, bahkan dengan harga mencapai Rp 25.000, ini berarti ada yang sengaja menahan pasokan alias menimbun, tunggu HET dicabut baru pasokan dikeluarkan,” kata Baidowi dalam keterangan tertulis, Kamis (17/3/2022) seperti yang diberitakan Kompas.com (27/3/2022).

Jika memang problem minyak goreng ini disebabkan penimbunan maka negara sejatinya kalah dengan para kartel. Bayangkan berbulan-bulan sejak November tahun 2021 hingga kini problem ini tidak selesai.

Juga, jika selama ini terjadi penimbunan menunjukkan dugaan bahwa penimbunan gagal dideteksi dan dicegah oleh pemerintah dan aparat. Terbukti dengan ditandai banyaknya stok minyak goreng di pasaran pasca-pencabutan aturan HET.

Menteri Perdagangan mestinya malu karena sempat menuduh panic buying kalangan rumah tangga dan penyetokan dilakukan para emak-emak sebagai salah satu biang keladi kelangkaan.

Problem ini semestinya membuat sadar dan berujung sikap tegas negara kepada pengusaha CPO dan minyak goreng. Bagaimana tidak Indonesia adalah penghasil CPO terbesar di dunia sejak tahun 2006 tapi mengalami krisis minyak goreng.

Beberapa dokumentasi video memperlihatkan antrean minyak goreng yang mengular dan membludak oleh ibu-ibu.

Indikasi permainan kartel juga sudah jauh-jauh hari disampaikan oleh publik. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI Ukay Karyadi mengungkapkan industri minyak goreng dikuasai hanya beberapa korporasi.

Ukay memaparkan, berdasarkan catatanya ada 74 perusahaan di industri minyak goreng yang tergabung di dua asosiasi yakni GIMNI dan AIMI. Namun jika dikerucutkan lagi, hanya ada sekitar 30 perusahaan dan ada 4 hingga 5 perusahaan yang menguasai pasar.

Beberapa temuan penimbunan juga telah beberapa kali diberitakan tapi tidak berujung penyelesaian masalah kelangkaan minyak goreng ini.

Karena itu jika hal ini benar bahwa persoalan stok dan harga minyak goreng dipermaikan kartel dan penimbun maka negara telah kalah. Wallahua’lam. []