
Ulasan Utama Assalim.id l Edisi 84
Oleh : Agan Salim
Assalim.id – Dalam kancah tata kelola perpolitikan global saat ini, muncul narasi tentang kematian demokrasi (democracies die) yang disuarakan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dua profesor Harvard dalam bukunya How Democraties Die.
Mereka menyatakan bahwa kematian itu bisa tak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi. Ketiga langkah itu sedang terjadi di seluruh dunia dan kita semua mesti mengerti bagaimana cara menghentikannya.
Fakta di atas juga diungkapkan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir yang berbicara tentang kematian demokrasi di tangan kekuatan sipil yang dibangun di atas oligarki.
Menurutnya, kekuatan sipil model seperti ini tidak kalah otoriternya dengan rezim militer.Lebih lanjut, Haedar menilai proses kematian demokrasi di tangan kekuatan sipil yang dibangun di atas oligarki ini ditandai dengan adanya demokrasi semu yang membawa pada proses ekstremitas. (sindonews 15/11/21)
Hal ini bisa kita teropong dari banyaknya kebijakan “tragis” di struktur relasi parlemen dan eksekutif yang diduga akibat peran para oligarki.
Masih tergambar jelas bagaimana publik dikejutkan oleh proses “ekspress” pembentukan Undang-Undang (Omnibus) Cipta Kerja. Hanya butuh waktu sekitar enam bulan saja, tuntas mengubah puluhan undang-undang yang sensitif bagi nasib buruh dan lingkungan hidup.
Belum lagi rencana pemindahan ibu kota baru yang sepi dari tanggapan DPR yang malah begitu tangkas merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dalam tempo singkat ditengah hujan kritikan dari banyak elemen publik.
Yang juga masih hangat dalam ingatan publik bagaimana pola oligarki ini pula yang menggejala pada skandal bisnis Polymerase Chain Reaction (PCR) dimana pejabat publik pengambil kebijakan di bisnis PCR diduga memiliki konflik kepentingan dengan korporasi pebisnis PCR itu sendiri.
Puncak dari semua kesemrawutan tersebut terlihat jelas dari bagaimana parlemen dan presiden tersandera oleh tatanan politik yang oligarkis. Sehingga siapapun ‘orang baik’ yang akan memimpin pasti akan ditaklukkan oleh tatanan yang buas, yang syarat dengan kepentingan terselubung para oligarki.
Fenomena ini sungguh sesuatu yang teramat dilarang dalam Islam pada tatanan sistemnya, karena sejatinya dalam Islam, pemimpin dengan rujukan syariat dari Allah-lah yang wajib mengatur adilnya pemerataan harta dan perekonomian yang ada di sebuah negara, sehingga tidak akan terjadi yang negara yang seolah dibawah kontrol penuh para oligarki seperti saat ini.
Dalam Al-Qur’an-pun sudah sangat jelas apa yang diterangkan Allah SWT untuk menjaga pemerataan ekonomi untuk tidak hanya beredar pada sekelompok orang atau orang kaya saja seperti di surat al-hasyr ayat 7. “harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”.
Penggalan ayat tersebut menunjukan larangan perputaran ekonomi hanya berputar pada orang-orang tertentu yaitu, orang yang memiliki aset dan akses atau orang yang kaya. Dari penerapan dari sistem yang rusak inilah akhirnya orang kaya terus kaya tanpa ada kekhawatiran akan jatuh miskin, sedangkan orang miskin akan menjadi miskin terus tanpa ada harapan akan menjadi sejahtera.[]