Nasib Negeri Doyan Hutang, Tutup Lubang Gali Jurang
Agan Salim
Kegagalan pemerintahan mengatasi pandemi corona dan krisis ekonomi, makin nyata dan kian mengkhawatirkan. Sehingga Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna beberapa waktu yang lalu mengaku khawatir dengan utang pemerintah yang sangat tinggi. Bahkan diprediksi pemerintah tak mampu membayarnya.
Realitas ekonomi saat ini, jangankan dibandingkan dengan indikator ekonomi dalam sistem ekonomi Islam, dengan indikator sistem kapitalis yang diusung IMF saja sudah “offside”.
Dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkonfirmasi bahwa utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR) yakni, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77% melampaui rekomendasi IMF sebesar 25% – 35%.
Kemudian, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6% – 6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7% – 19%. Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% melampaui rekomendasi IDR sebesar 92% – 167% dan rekomendasi IMF sebesar 90% – 150%.
Kondisi yang kian berbahaya dan terpuruk ini bukanlah baru kali ini disuarakan, Ekonom Senior, DR. Rizal Ramli selalu mengkritisi narasi pemerintah yang selalu memakai indikator ratio Utang/GDP, klaim bahwa Indonesia lebih baik daripada Jepang sering kita dengar.
Harusnya indikator yang digunakan ialah dengan menghitung rasio cicilan utang dibanding nilai ekspor atau yang dikenal dengan Debt to Service Ratio (DSR).
Karena kalau memakai DSR maka kondisi pelunasan pokok utang (Rp456,50 T) dan pembayaran bunga utang (Rp314,08 T) yang di jumlah, maka total keduanya (beban utang/debt service): Rp770,58 T. Sedang pendapatan negara: Rp1.647,78 T. Sehingga Debt Service to Revenue (DSR): 46,42%. Jauh dari batas atas rekomendasi IMF (35%) yang telah dilampaui sejak 2019.
Akibat turunannya adalah “besar pasak daripada tiang”, kantong pemerintah makin cekak alias bokek makin dalam. Bahkan untuk membayar bunga utang, mau tak mau pemerintah harus mencari pinjaman lagi alias tutup lubang, gali jurang.
Inilah wajah tragis sebuah negara yang mengadopsi sistem rusak kapitalisme dalam pengelolaan sistem ekonomi negara, bukannya berdaulat malah terjebak dalam pusaran utang tak berkesudahan.
Akibatnya bubbles/gelembung yang semakin membesar ini pada akhirnya akan menghantam kondisi makro ekonomi yang berujung gagal bayar negara, turunnya daya beli, yang berimplikasi serius kepada kondisi sosial, ekonomi dan politik.
Pada titik inilah, gelembung yang makin besar ini akan pecah, ditusuk oleh sebuah kebenaran hakiki, akan rusaknya sistem rusak buatan manusia.
Dan semua ini harusnya menyadarkan semua pihak bahwa manusia, alam semesta dan kehidupan hanya bisa menjadi rahmat bagi penghuninya manakala diatur dengan aturan Sang Maha Pencipta yakni Allah SWT., tak terkecuali dalam mengatur ekonomi sebuah negara. [AS]