Larangan Mudik, Inkonsistensi Tanpa Solusi!

Last Updated: 13 Mei 2021By

Abu Nabhan

Secara naluri, setiap orang pasti rindu kampung halaman, rindu untuk melepaskan kerinduan dengan keluarga terdekatnya terutama kedua orang tuanya. Rindu ingin bercerita dengan sahabat-sahabat lamanya, rindu ingin berbagi dengan tetangganya.

Kerinduan seperti ini biasanya dimanfaatkan saat momentum lebaran Idul Fitri. Karena itu, bagi mereka yang berada dirantauan menjadikan mudik (pulang kampung) sebagai ‘budaya’ yang tidak bisa ditinggalkan. Budaya ini sudah berlangsung sejak zaman Kerajaan Majapahit dan Mataram Islam.

Jadi, wajar saja saat pemerintah mengeluarkan larangan mudik lebaran Idul Fitri dari tanggal 6-17 Mei 2021, sebahagian masyarakat tetap mudik. Survei Kementerian Perhubungan menyebutkan, sebanyak 7 persen atau 18 juta masyarakat Indonesia tetap akan tetap melakukan mudik ke kampung halaman (liputan6.com).

Faktanya, di Bandara Soekarno Hatta sehari sebelum pelarangan mudik jumlah penumpang mencapai 80 ribu orang, dari biasanya 40 ribu hingga 60 ribu orang (liputan6.com). Bahkan arus penumpang dari Jawa ke Bali mencapai 9.137 orang atau naik 314 persen dibanding tahun sebelumnya, belum termasuk kendaraan.

Mengapa masyarakat tetap mudik kendati ada larangan tegas dari pemerintah?. Ya, karena kebijakan ini terkesan inkonsistensi. Satu sisi masyarakat dilarang mudik sisi lain warga negara asing, terutama pekerja dari China justru difasilitasi kedatangannya. Bahkan dibuka penerbangan khusus dari Wuhan , padahal Wuhan merupakan pusat penyebaran Covid-19.

Faisal Basri, Pakar Ekonomi Indonesia, mencatat sejak Maret 2021 pekerja asal China masuk Indonesia capai 2.513 orang. Bahkan, dilaporkan Kompas, Ahad (26/1). Gubernur Sumbar Irwan Prayitno justru menyambut 150 turis dari Wuhan, China, untuk berlibur ke provinsi tersebut.

Ini kan aneh!. Coba bayangkan bahaya mana pekerja China atau masyarakat yang ingin mudik?. Apakah orang China kebal virus sementara orang Indonesia rentan virus?. Apakah virus Covid-19 hanya ada saat bertemu keluarga di kampung halaman sementara bertemu pekerja China tidak?.

Jika alasan diperbolehkannya karena dianggap sudah lolos dari pantauan suhu tubuh, menurut dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Ahmad Hidayat, pemerintah perlu belajar dari kasus pasien yang terkena virus corona yang bisa lolos dari pantauan suhu tubuh atau thermo scanner.
Saat melewati pemindaian suhu tubuh, pasien terdeteksi memiliki suhu yang relatif normal. Namun, setelah itu, pasien tiba-tiba jatuh sakit, sehingga dilarikan ke rumah sakit. Belakangan ia dinyatakan positif terkena corona.

Ini juga bisa saja terjadi pada orang China, karena alat pemindaian suhu tubuh bisa saja tidak akurat dalam menangkap individu yang terjangkit virus itu.
Apalagi pemerintah China sudah menjelaskan kalau virus corona terkadang tidak menunjukkan gejala.

Belum lagi upaya pencegahan dengan cara personal hygiene tidak serta merta menghalangi virus corona menerobos dan menyebar ke orang lain. Apa lagi saat ini belum ada vaksin buat mengobati pasien yang terjangkit virus corona.

Seharusnya jika pemerintah konsisten untuk memutus rantai penyebaran virus Covid-19 , seharusnya seluruh arus pergerakan manusia yang bisa menimbulkan kerumunan dan kontak fisik tegas dilarang sejak awal. Tidak perlu ada batas waktu seperti yang terjadi saat ini, karena tidak ada jaminan bahwa yang mudik lebih awal tidak menyebarkan virus.

Karena itu, dalam pandangan penulis kebijakan ini tidak murni hanya sekedar alasan memutus mata rantai penyebaran virus tapi lebih dominan nilai bisnis dan hitungan ekonominya. Artinya, ada pihak yang turut mengambil keuntungan dibalik kebijakan ini, ada juga yang dirugikan.

Buktinya, tempat-tempat wisata tetap diperbolehkan. Secara ekonomi pariwisata adalah salah satu sektor penting bagi Indonesia. Pada 2019 sektor ini menyumbang devisa sekitar Rp280 triliun dengan jumlah wisatawan mancanegara 16,11 juta dan tercatat ada 282,93 juta perjalanan wisatawan nusantara.

Bandingkan bila hanya sekedar mudik. Jika menggunakan data mudik 2019 yang mencapai 33,4 juta orang. Anggaplah rata-rata pemudik menarik uang Rp 5 juta, maka total penarikan uang sekitar Rp 165 triliun. Tapi ini tidak otomatis meningkatkan daya beli masyarakat.

Boleh jadi hanya untuk dibagi-bagi kepada keluarganya dikampung halaman selanjutnya mereka saving untuk jaga-jaga ditengah ketidakpastian ekonomi. Lain halnya dengan pariwisata, uang yang berputar berbanding lurus dengan daya beli masyarakat yang dapat berkontribusi langsung pada peningkatan pendapatan negara. Termasuk didalamnya pemasukan dari pendapatan visa pekerja dan wisatawan.

Disinilah karut marutnya persoalan mudik ini. Lalu dimana letak masalahnya?. Tentu berawal dari kesalahan awal negara ini menangani virus COVID-19 yang inkonsistensi dan minim solusi.
Sejak awal paradigma yang dibangun adalah bagaimana menyelamatkan ekonominya terlebih dahulu baru menyelamatkan manusia. Padahal manusialah yang menggerakkan ekonomi. Inilah karakter ideologi kapitalis yang sesungguhnya.

Berbeda halnya dengan Islam. Islam sebagai sistem memiliki solusi yang jitu. Di zaman Khalifah Umar bin Khattab, saat terjadi wabah kolera wilayah yang menjadi pusat penyebaran virus langsung diisolasi total. Penduduk yang berada diluar wilayah penyebaran tidak boleh masuk dan penduduk yang berada di wilayah penyebaran tidak boleh keluar.

Jika diaplikasikan ke dalam ranah kebijakan negara saat ini sesungguhnya simple saja. Misalnya, seluruh penerbangan terutama dari China atau antar negara langsung diberhentikan. Kalau perlu isolasi total diberlakukan mulai dari tingkatan dusun hingga di semua tingkatan daerah, lalu dilakukan pemeriksaan total. Yang sehat tetap beraktivitas seperti biasa, yang sakit atau ada gejala, langsung isolasi total.

Namun ini tidak pernah terpikirkan oleh negara, mengapa?, karena kebijakan seperti ini hanya akan ditemukan dalam sistem negara yang sesuai fitrah manusia, yakni sistem Islam, yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang hanya takut pada ALLAH Subhaanahu wa Ta’aala.

Sistem inilah yang akan memberi kesejahteraan dan jaminan kesehatan, pendidikan, dan keamanan bagi seluruh rakyatnya. Sistem ini hanya akan tegak jika Islam dilaksanakan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan manusia!.

Wallaahu a’lam bi ash shawab.