Minyak Goreng Langka, Masih Percaya Ekonomi Kapitalis?
Bengkel Pengusaha Assalim.id | Edisi 97
Oleh: Haris Abu Muthiah
Assalim.id – Tidak sengaja saya mendengarkan percakapan emak-emak dan seorang bapak yang sendang antri menunggu minyak goreng di salah satu Indomaret di Kota Makassar. “Kok bisa ya tiba-tiba minyak goreng langka?” celoteh seorang bapak yang ada di samping saya.
“Sebenarnya tidak langka, Pak. Coba lihat di group-group whatsapp ada partai merah pendukung pemerintah yang jual murah, coba pikir dari mana mereka dapat kalau tidak menimbung minyak, padahal kalau rakyat biasa yang cari susahnya bukan main,” celoteh seorang yang Ibu yang ada di depan saya.
Di lain waktu seorang sahabat pengusaha di Antang, Makassar, bercerita kesaya bagaimana para penjual dibatasi untuk mendapatkan minyak, “Susah ini sekarang pedagang menjual minyak goreng”, kata H Amin. “Kenapa bisa, Pak Aji?”, tanya saya.
“Bagaimana tidak susah, distributor membatasi stok setiap pedagang. Tapi kalau ambil satu kontainer modalnya besarsampai Rp 200 juta tapi untungnya kecil hanya Rp 1,5 juta”, ungkapnya
“Kenapa tidak naikkan harga?” tanya saya lagi. “Bahaya kalau dinaikkan, ada pengusaha di Gowa yang naikkan harga sampai Rp15 ribu dari harga normal Rp14 ribu langsung didenda. Coba pikir susahnya ini pengusaha kecil, untungnya cuma Rp 1,5 juta tapi dendanya Rp35 juta,” jelasnya sambil geleng-geleng kepala.
Keluhan emak-emak dan H Amin di atas menggambarkan begitu rusaknya sistem ekonomi negeri ini. Sistem ekonomi yang gagal memberikan jaminan keadilan dan kesejahteraan bagi setiap rakyat.
Sistem ekonomi yang tidak mampu memastikan terpenuhinya sandang, pangan, dan papan bagi setiap warganya. Sistem ekonomi yang tidak mampu memenuhi secara cuma-cuma layanan pendidikan dan kesehatan bagi setiap masyarakat. Sistem ekonomi yang menjadikan negara sebagai pedagang bagi rakyatnya.
Jangankan untuk memenuhi seluruh kebutuhan privat dan publik bagi setiap penduduknya, hanya untuk urusan minyak goreng saja yang sejatinya menjadi kebutuhan sehari-hari susahnya bukan main terpenuhi. Rakyat dibiarkan antri berjam-berjam dan keliling kemana-kemana hanya untuk mendapatkan satu liter minyak goreng.
Mengapa ini terjadi? menurut Mendag ada oknum yang menimbun dan dijual ke luar negeri, ada kebocoran untuk industri yang dijual dengan harga tidak sesuai patokan pemerintah. Nah, jika alasannya ada yang menimbun kenapa tidak diungkap dan ditangkap sebagaimana cekatannya densus 88 menangkap yang dianggap teroris?
Dan petunjuk untuk itu sangat mudah ditelusuri jika pemerintah punya political will. Partai Demokrat 16 ribu liter (16 ton), DPD Partai Golkar Jatim membagikan lima ribu liter, PDIP juga pernah mengunggah momen kadernya menyalurkan di 126 kelurahan di Bandar Lampung, termasuk juga PSI,
Lalu mengapa negara tidak melakukan itu semua? Negara tidak punya political will. Jangankan mau menelusuri sekedar menjadikan masalah saja tidak. Negara justru menganggapnya biasa-biasa saja (cnnindonesia, 8/3/2022). Kalau sekedar membantu masyarakat dan menjual harga murah tidak ada masalah, itu sah-sah saja.
Tapi ini bukan hanya sekedar memberi bantuan dan menjual dengan harga murah tapi ini persoalan distribusi yang tidak merata kepada seluruh rakyat. Mengapa partai-parta bisa mendapatkan stok banyak sementara rakyat harus antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan satu liter saja?. Mengapa pula pemerintah tidak menelusuri seluruh saluran-saluran distribusi padahal perangkatnya lengkap?.
Ini jelas negara ini tidak mandiri, negara bertekuk lutut dihadapan para penguasa-penguasa sawit. Itulah oligarki. Oligarki jumlahnya sedikit tapi mampu menguasai pemerintah. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, Bulog tidak bermain di minyak goreng jadi rantai distribusinya tidak dikuasai oleh BUMN maupun pemerintah (jpnn.com, 8/3/2022).
Lahan perkebunan sawit milik Indonesia sangat luas dan mencapai 16,38 juta hektar. Tidak heran jika termasuk produsen terbesar minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) terbesar di dunia. Dilansir dari berbagai sumber. Sejak tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat pertama dan menjadi raja produsen sawit terbesar di dunia. Bahkan pada tahun 2019, produksi sawit di Indonesia pernah menembus 43,5 juta ton, dengan pertumbuhan rata-rata per tahunnya mencapai 3,61 persen.
Bukan hanya itu Indonesia juga merupakan negara eksportir kelapa sawit terbesar di dunia. Menurut data Kementerian Pertanian (Kementan), total nilai ekspor kelapa sawit dari Indonesia mencapai US$17,36 miliar pada 2020.
Lalu kemana semua itu?. Ini tidak lepas dari peran swasta yang selama ini menguasai bisnis minyak goreng di Indonesia. Dikutip dari Katadata.co.id, pengusaha minyak goreng Indonesia yang terkenal adalah Keluarga Widjaya.
Ia merupakan orang terkaya kedua dari daftar “50 Orang Terkaya di Indonesia” versi Forbes pada 2021. Lewat Sinar Mas Group, menjadi produsen minyak goreng terbesar di Indonesia, yakni Filma. Diperkirakan, kekayaan keluarga mencapai US$ 9,7 miliar. Nilai ini setara Rp 138,71 triliun (kurs US$ 1= Rp 14.301)
Ada Anthony Salim, merupakan pemilik dari Indofood. Pemilik bisnis minyak goreng seperti Bimoli, Delima dan Happy melalui Indofood Agri Resources Ltd. Menurut Forbes, kekayaannya mencapai US$ 8,5 miliar (Rp121,55 triliun).
Ada Bachtiar Karim, pemilik Grup Musim Mas. Sejumlah merek minyak gorengnya produksi perusahaannya yakni Sanco, Amago, dan Voila. Tercatat menurut Forbes, total kekayaan pria ini mencapai US$3,5 miliar (Rp 50,05 triliun).
Ada juga Martua Sitorus, pemilik dari Wilmar dengan salah satu produknya yakni minyak goreng. Di Indonesia, sejumlah merek minyak goreng produksi Wilmar adalah Fortune dan Sania. Menurut Forbes, kekayaan Martua mencapai US$ 2,9 miliar (Rp 41,47 triliun).
Termasuk juga Sukanto Tanoto. Ia pemilik dan pendiri Royal Golden Eagle International (RGEI) dan memiliki usaha di industri minyak kelapa sawit. Lewat Asian Agri and Apical, memproduksi minyak goreng dengan merek Camar. Menurut Forbes, kekayaannya mencapai US$ 2,3 triliun (Rp32,89 triliun).
Inilah karakter ekonomi kapitalisme dimana setiap orang bebas menguasai dan mengatur sumber daya yang seharusnya dinikmati oleh rakyatnya. Bahkan para kapitalis mampu merubah regulasi sesuai keinginannya. Termasuk bebas mengatur sesuai kehendaknya siapa pejabat yang mendukung bisnisnya.
Masih percaya ekonomi kapitalisme?. Karena itu islam solusinya. Dalam pandangan ekonomi Islam, pasar tidak boleh sepenuhnya berjalan secara bebas. Di dalam ekonomi Islam, tidak berlaku prinsip individu maupun swastab ebas menguasai berbagai jenis harta kekayaan(freedom of ownership). Individu atau swata hanya berhak menguasai barang-barang yang masuk dalam kategori kepemilikan individu (milkiyyah fardiyyah).
Sementara untuk kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah), seperti: pertambangan yang besar, minyak bumi, gas alam, dan kepemilikan negara (milkiyyatu ad daulah), seperti: jizyah,kharaj, ghanimah, fa’i, ‘usyur dsb harus berada di tangan negara, yang pengelolaannya semata-mata adalah untuk kepentingan kemaslahatan rakyat.
Karena itu, jika ekonomi Islam berjalan penimbunan atau dalam istilah fiqhi disebut Ikhtikar tidak akan ditemukan. Apa itu ikhtikar?. Fathi ad-Duraini seorang Guru Besar bidang fikih dan usul fikih di Fakultas Syariah Universitas Damascus, mengtakan, ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa serta enggan untuk menjual dan memberikan harta dan jasanya kepada orang lain, sehingga harga pasar melonjak secara drastis karena persediaan terbatas atau stok hilang sama sekali dari pasar, sementara kebutuhan masyarakat negara atau hewan amat mendesak untuk mendapatkan barang, manfaat atau jasa tersebut.
Karena itu Jumhur ulama yang terdiri dari ulama mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, Zaidiyah dan Imam al-Kasani (ahli fikih mazhab Hanafi), sepakat menghukumi bahwa ihtikar hukumnya haram. Banyak dalil yang mendukungnya, diantaranya QS Al Baqarah [2]: 279; Al Maidah [5]: 2 dan 6; dan Al Hajj [22]: 78.
Di samping itu banyak hadis Rasulullah SAW tidak membenarkan perbuatan ihtikar, misalnya, ”Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam api neraka pada hari kiamat.” (HR at-Tabrani dari Ma’qil bin Yasar).
Kemudian sabda Rasulullah yang lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah, ”Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.”
Dalam riwayat Ibnu Umar dari Rasulullah SAW juga mengatakan, ”Para pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan denga)-nya.”
Selain itu Islam tidak hanya sekedar mengharamkan tapi diberlakukan sanksi yang tegas berupa ta’zir bagi setiap pelaku penimbunanya yang ditetapkan oleh khalifah. Disinilah relevasinya mengapa ekonomi Islam wajib hukumnya ditegakkan. Tapi itu belum cukup, maka sistem yang lain juga harus diberlakukan secara kaffah karena satu sama lain sangat terkait.
Wallahu a’lam bi ash shawab.