
Oleh: Haris Abu Muthiah
Aliansi Pengusaha Muslim – Saat berada di wilayah pengungsian untuk recovery mental bagi warga yang terdampak banjir bandang di Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan bersama sahabat-sahabat MTR care beberapa waktu lalu, penulis bertemu seorang pengusaha lokal yang mengaku ingin meminta bantuan bagaimana caranya menyelesaikan utangnya.
Panjang lebar beliau bercerita tentang kondisi usahanya hingga terlilit utang, sulit untuk membayarnya, dan stres memikirkannya. Setelah mendengar ceritanya, salah seorang warga MTR Sulsel, Priyono Utomo ex apraisal perbankan, menambahkan bahwa salah satu tabiat buruk utang adalah membuat pelakunya berada dalam tekanan.
Mengapa orang pusing dengan utang? Salah satu penyebabnya karena selama ini kebanyakan pengusaha hanya fokus memikirkan utangnya hingga berada dalam tekanan yang luar biasa akibat tagihan dari debt collector (DC). Padahal utang wajib dibayar bukan dipikirkan. Yang dipikirkan adalah solusinya. Fokus berpikir bagaimana mengembangkan usaha.
Kendati demikian, ini adalah sifat alami bagi manusia sebagai bentuk penampakan dari naluri mempertahankan diri (gharizatun baqa’). Naluri semacam ini akan muncul ketika ada pemicu dari luar diri manusia. Mengapa pengusaha pusing dengan utang?, tidak lain karena adanya tekanan dari pihak DC agar segera melunasi utangnya.
Bisa juga pengusaha itu gelisah karena sudah ada pemahaman setelah mendapatkan informasi bahwa utang yang mengandung riba itu adalah haram dan dosanya besar. Bahkan lebih besar dari zina. Dalam hadits disebutkan bahwa tingkatan dosa riba ada 72, yang paling ringan adalah seorang anak laki-laki berzina dengan ibu kandungnya sendiri.
Naluri hakikatnya mustahil bisa dihilangkan dari dalam diri manusia tapi hanya bisa dialihkan. Caranya bagimana? Mari perhatikan sabda Rasulullah SAW,
“Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari, Muslim).
Hadits ini jelas menggambarkan bahwa keinginan menikah adalah naluri, yakni naluri melestarikan keturunan (gharizatun nau’) yang dialihkan ke naluri lain, yaitu naluri beragama (gharizatu tadayyun). Artinya, menurunkan naluri menikah dan menaikkan naluri berpuasa membuat seseorang fokus pada puasannya dan tidak terlalu memikirkan lagi menikahnya.
Karena itu agar tidak fokus memikirkan utang maka mesti dialihkan kenaluri lain. Mengalihkan memikirkan utang ke memikirkan usaha. Caranya?, merubah cara pandang bahwa utang tidak akan selesai hanya dengan memikirkannya. Tapi butuh ikhtiar usaha yang maksimal dan tawakkal yang tiada henti.
Tidak cukup sampai disitu. Tapi mesti dilakukan peningkatan ruhiyah atau kedekatan kepada Allah SWT. Sibukkan diri dengan dakwah, bina umat secara terus menerus. Terus berupaya memantaskan diri dihadapan Allah SWT.
Hanya saja, semua itu akan bisa dilakukan jika pondasi aqidah kuat. Melepaskan diri dari kemelakatan harta yang berlebihan. Memerdekakan diri dari penghambaan terhadap harta menuju penghambaan hanya kepada Allah SWT. Kecintaan pengusaha hanya kepada Allah dan RasulNya.
Dengan cara begitulah Allah memberi pertolongan pada setiap masalah yang dihadapi para pengusaha. Maha benar firman Allah SWT dalam surah Ath-Thalaq ayat 2-3,
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya” (QS Ath Thalaq: 2-3).
Wallahu a’lam bi ash shawab.[]