Menuju Negara Bangkrut ?!

Last Updated: 23 November 2020By

Oleh : Agam Salim.

Stephen D. Krasner dalam bukunya yang berjudul Problematic Sovereignty menyebutkan sebuah istilah lain yang disebut sebagai negara gagal (failed state). Istilah ini, menurut Krasner, menggambarkan sebuah kondisi yang mana pemerintah domestik tak mampu meregulasi perkembangan yang terjadi dalam batas-batas wilayahnya sendiri.

Pendapat yang lebih tajam pernah diungkat oleh Robert I. Rotberg dalam tulisannya yang berjudul Failed States, Collapsed States, Weak States. Menurut Rotberg apa yang dimaksud dengan negara gagal (failed state) biasanya diindikasikan dengan munculnya kekerasan dan gesekan antarkomunitas di masyarakat, terjadinya ketidakpuasan (unrest) kepada pemeritah yang berujung kepada pemerintahan yang mulai kehilangan legitimasi dan kontrol penuh terhadap wilayah dan kedaulatan. Serta tak mampu sepenuhnya negara dalam memberikan rasa aman (security) bagi warganya.

Kalau kita coba telusuri fakta akan negeri ini, Ada tiga bukti kegagalan mendasar negeri ini sehingga mengarah ke negeri gagal atau bangkrut seperti literasi diatas. Tiga hal mendasar tersebut adalah sistem politik, ekonomi, dan hukum.

Pada ranah politik, nyata sekali negeri ini tidak mampu memberikan kebijakan yang pro-rakyat. Justru sebaliknya pemerintah dan anggota dewan menjadi contoh buruk penerapan politik. Sudah terlalu banyak kebijakan-kebijakan politik yang dibuat justru menghianati aspirasi dan keinginan rakyak, masih hangat bagaimana kegaduhan saat disahkannya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah bersama DPR. Selain prosedurnya yang diduga cacat formil, materiil dan tidak melibatkan pendapat rakyat, bahkan pasal dalam undang-undang tersebut diduga syarat dengan kepentingan oligarki dan menjadi ancaman serius bagi masa depan rakyat, buruh/pekerja, dan sumber daya alam negeri ini.

Ranah ekonomipun tak jauh berbada, dari sisi distribusi kekayaan negeri ini misalnya, sudah lebih dari 70 tahun negeri merdeka, kekayaan negeri faktanya lebih banyak dinikmati 40-50 orang terkaya di Indonesia. Catatan Forbes akhir tahun lalu menunjukan, kekayaan 10 besar orang kaya Indonesia jika dijumlahkan mencapai US$79,4 miliar atau setara dengan Rp1.111,6 triliun jika dikalikan dengan kurs Rp14.000. Jumlah ini cukup fantastis. Pasalnya, jika dibandingkan dengan anggaran belanja negara tahun 2019 senilai Rp2.461,1 triliun, total kekayaan 10 besar orang kaya Indonesia itu setara 45 persen dari total belanja pemerintah.

Sementara disisi yang lain, neraca perdagangan negeri ini belum bisa keluar dari jeratan tekor alias defisit. Beban rakyatpun harus ditambah dengan hutang yang kian mengunung, posisi utang pemerintah saat ini telah mencapai Rp5.756,87 triliun per September 2020. Rasio hutang terhadap PDB (debt to GDP ratio) mencapai 36,4 persen dari PDB. (26/10/20 tirto.id). Sehingga alokasi APBN harus menanggung beban bunga yang pokok hutang yang tidak sedikit. Bahkan saking mininnya pemasukan negara sehingga sebagian besar hutang digunakan untuk menbayar hutang pinjaman yang akan jatuh tempo, sungguh memilukan.

Pada ranah sistem hukum juga tidak kalah meprihatinkan. Hukum semakin nyata tumpul ketika ke atas dan tajam ke bawah. Penegakkan hukum menjadi tebang pilih. Rakyat sering mendapat kesewenangan dalam hukum. Ketidakadilan dan ketidakpastian hukum menjadi pemandangan umum. Bahkan perangkat-perangkat hukum justru menjadi pelanggar terbesar di negeri ini, lihat saja produk-produk UU yang dihasilkan seperti UU KPK dan Omnibuslaw yang justru memandulkan peran pemberatasan korupsi, ketidakpastian hukum, dan berpotensi merugikan rakyak negeri ini.

Belum lagi fenomena semakin represifnya negara kepada orang atau kelompok yang berbeda pandangan dalam banyak hal dengan pemerintah yang selalu diperlakukan dan diposisikan sebagai musuh yang sepertinya boleh diperlakukan semena-mena. Bahkan degan cara yang jelas-jelas melanggar hukum sekalipun.

Dari ketiga aspek diatas, alih-alih ingin mensejahterakan rakyat. Penguasa malah sering mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak populis dan blunder bagi rakyatnya.

Dan ini semua berakar dari sistem tata kelola yang diadobsi dan diterapkan dinegeri ini yang membuka ruang “kebangkurtan” semua lini ini terjadi.

Karena problem kebangkrutan adalah hasil dari penerapan sebuah sistem kehidupan (tata kelola), maka solusinya pun harus dari pergantian sistem tata kelola, tidak yang lain.

Fakta sejarah mempertontonkan betapa negeri ini bukanlah negeri yang berdaulat dari sisi ideologi/sistem kehidupan. Sehingga wajar seiring berganti pemimpin, ideologi pun ikut berganti. Masa Presiden Soekarno Indonesia condong kepada Sosialis-Komunis. Masa Presiden Soeharto Indonesia condong ke Barat dengan menganut kapitalis-liberal. Dan semenjak reformasi sampai sekarang Indonesia bertambah liberal. Jika berdaulat saja tidak, maka wajar kalau negeri ini selalu menjadi jajahan baru bagi negara adidaya yang sedang berkuasa.

Maka sudah saatnya kebangkrutan yang lebih dalam dan menyengsarakan ini disudahi, kalau kita ingin ada masa depan yang lebih baik buat generasi mendatang. Sebagai negeri muslim terbesar didunia, sudah seharusnya rakyat dinegeri ini sadar bahwa ada sistem/tata kelola kehidupan yang jauh lebih baik dari sistem manapun yang hari ini eksis. Itulah sistem Islam dengan perangkat teknis syariahnya dalam menata kehidupan. []