Menghibahkan Utang

Last Updated: 2 Oktober 2020By

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Para fuqaha’ menyatakan, bahwa hibah adalah akad, yang mempunyai konsekuensi, memindahkan kepemilikan harta, ketika masih hidup, tanpa disertai kompensasi. Karena itu, hibah merupakan salah satu sebab kepemilikan yang sah, menurut syariat Islam. [Lihat, al-‘Allamah Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Juz II/1923; al-‘Allamah Samih ‘Athif az-Zain, al-Uqud, hal. 449]

Karena itu, akad hibah ini harus ada wahib [yang menghibahkan], mauhud lahu [yang menerima hibah], mauhub [barang yang dihibahkan] dan Shighat [ijab-qabul].

Dalam konteks mauhub [barang/harta yang dihibahkan] harus berupa: (1) harta, seperti Dinar, Dirham, rumah, baju; (2) Jasa [manfaat], seperti manfaat rumah, kendaraan, peralatan; (3) Hak, seperti mendapatkan jaminan pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis dari negara, atau hak seseorang istri pada jatah suaminya, dihibahkan kepada istri yang lain, dan sebagainya.

Syarat lain barang/harta yang dihibahkan [mauhub] harus dimiliki oleh pihak yang menghibahkan [wahib] dan bisa diserahkan. Tidak ada syarat, barang/harta yang dihibahkan [mauhub] harus ada ketika akad, tetapi boleh saja tidak ada, tetapi diharapkan akan datang.

Nah, dalam konteks utang, boleh tidak utang dihibahkan? Dalam konteks menghibahkan utang ini ada perbedaan di kalangan imam mazhab. Mazhab Hanafi menyatakan, bahwa menghibahkan utang kepada orang yang diutangi [madin] hukumnya boleh. Tetapi, ini hukumnya bukan hibah hakiki, melainkan kiasan. Karena konteksnya, adalah menggugurkan utang dari orang yang diutangi [madin]. Begitu juga menghibahkan utang kepada orang lain, selain orang yang diutangi [ghair madin] juga boleh, sehingga orang yang mendapatkan hibah [mauhub lahu] bisa menagih kepada madin.

Mazhab Maliki juga hampir sama. Bagi menghibahkan utang kepada madin, statusnya pembebasan [ibra’]. Adapun menghibahkan utang kepada yang lain, selain madin, juga boleh.

Sedangkan mazhab Syafii menyatakan, bahwa menghibahkan utang kepada madin, statusnya pembebasan [ibra’]. Karena itu, tidak membutuhkan qabul. Adapun menghibahkan utang kepada yang lain, selain madin, juga boleh. Tetapi, juga ada yang menyatakan, tidak boleh. Bahkan, batil.

Sedangkan mazhab Hanbali menyatakan, menghibahkan utang kepada madin, statusnya pembebasan [Ibra’], menggugurkan [isqath], atau menyedekahkan. Tetapi, menghibahkan utang kepada orang lain, selain madin, juga tidak sah.

Sebenarnya, dengan melihat syarat barang/harta yang dihibahkan [mauhub] jelas sekali, bisa berbentuk: (1) harta; (2) Jasa [manfaat]; dan (3) hak. Utang yang menjadi kewajiban yang melekat pada seseorang merupakan hak yang dimiliki oleh orang yang mengutangi [dain], sekaligus yang menghibahkan [wahib]. Dalam konteks ini, dia bisa menghibahkan kepada orang yang mempunyai kewajiban membayar utang tersebut, sebagai bentuk pembebasan, atau kepada orang lain, sebagai hak yang bisa diambil.

Jadi, dua-duanya sah. Sebagaimana pendapat mazhab Hanafi, Maliki dan sebagian mazhab Syafii di atas. Adapun pendapat yang menyatakan tidak boleh, menurut hemat kami tidak tepat. Wallahu a’lam.