
Aliansi Pengusaha Muslim – Pesona sistem kapitalisme di bawah kaum _Keynesian_ sudah makin suram, puluhan tahun pandangan kalangan Keynesian mewarnai kebijakan di negara-negara berkembang namun pengelolaan aset ekonomi masyarakat tetap dikuasakan pada para kapitalis. APBN negara-negara berkembang masih mengalami defisit, utang luar negeri semakin menumpuk sehingga APBN terus terbebani oleh pengeluaran untuk pembayaran pokok utang dan bunga setiap tahun anggarannya.
Impor negara yang sedang berkembang sangatlah tinggi terutama dari negara-negara yang menghutangi (negara kreditur), sementara produksi dalam negeri justru rendah bahkan bertumbuh negatif, inflasi bergerak naik, ekonomi semakin ‘peka goncangan’, tenaga kerja banyak yang ter PHK, pengangguran semakin merebak, daya beli masyarakat semakin melemah.
Sepertinya mimpi kesejahteraan terhalangi oleh realitas ekonomi suram di atas, meskipun kebijakan distribusi pendapatan sudah dijalankan dengan “ngos-ngosan” tetap saja pemerataan tidak bisa diwujudkan, itu artinya ketimpangan pendapatan sudah tidak bisa terelakkan. Realitas “jomplang” seperti ini juga terjadi pada apa yang disebut ‘negara kaya’ yang menguasai aset perekonomian negara-negara dunia ketiga, sementara disisi yang lain banyak sekali negara dengan ekonomi yang tidak berdaya namun dikuasai oleh negara kaya.
Ini semua terjadi di atas kepercayaan terhadap batasan-batasan pembangunan ekonomi yang dirumuskan oleh kalangan _Keynesian_. Kombinasi antara kebijakan fiskal dan moneter yang diajarkan oleh John Maynerd Keynes tidak menghilangkan karakteristik utama dari kapitalisme yakni penguasaan ekonomi oleh para kapitalis. Jika kalangan ‘neoklasik’ dianggap telah menghidupkan gairah bagi keberlangsungan sistem ekonomi pasar _(laissez faire)_, maka kalangan _Keynesian_ dianggap telah menutupi apa yang sebelumnya “bolong” dalam sistem ekonomi pasar yakni hadirnya negara pada sektor perekonomian.
Namun semua itu hanya kamuflase belaka karena yang diterapkan tetap kapitalisme. Menurut _Robert L. Heilbroner_ kapitalisme/liberalisme berkeyakinan semua hal dapat diselesaikan melalui (mekanisme) pasar atau sistem pasar. Sistem pasar adalah suatu bentuk organisasi masyarakat di mana keselarasan dan efisiensi timbul dengan sendirinya dari apa yang apabila dilihat sepintas lalu merupakan masyarakat yang tak terkendali.
Lantas, harapan akan kemakmuran tidak akan bisa diwujudkan jika masih terjebak pada slogan kemakmuran ala kapitalisme. Kapitalisme sendiri adalah sistem yang mengenyampingkan aturan dari yang menciptakan manusia. Padahal yang Maha Tahu dan telah memerintahkan manusia untuk memakmurkan bumi adalah Allah SWT.
_”Dia (Allah) menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya” (QS. Hud: 61)_
Allah SWT telah menyediakan bumi sebagai tempat tinggal agar manusia mudah dan lapang, dengan syarat manusia tidak berpaling dari syariat Allah SWT. Sebaliknya jika yang diterapkan selain syariah Islam semisal ajaran _Keynesian_, maka kita akan merasakan kehidupan yang suram lagi sempit.
_”Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku (Allah) maka baginya penghidupan yang sempit”_ (QS. Thaha: 124)
Bagaimana Islam memakmurkan kehidupan akan kita jumpai disaat sistem ekonomi Islam itu diterapkan bersama syariah Islam lainnya secara totalitas (kaffah). Kemakmuran di dalam Islam nyaris pada apa yang disebut dengan tercapainya “keseimbangan” ekonomi. Mengenai hal ini patut kita renungkan apa yang dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani terkait politik ekonomi Islam dalam mewujudkan kemakmuran:
“Politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan dalam sebuah negara semata, tanpa memperhatikan terjamin-tidaknya setiap orang untuk menikmati kehidupan tersebut. Politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk mengupayakan kemakmuran individu dengan membiarkan mereka sebebas-bebasnya untuk memperoleh kemakmuran tersebut dengan cara apapun, tanpa memperhatikan terjamin-tidaknya hak hidup setiap orang”.
Dengan demikian, kemakmuran yang hendak diwujudkan oleh Islam adalah kemakmuran yang dibingkai dalam ketakwaan kepada Allah SWT, bukan kemakmuran materialistik ala neoliberalisme. Dengan Islam kemakmuran bukan sekedar slogan, tetapi sampai pada titik terwujud apa yang disebut dengan keseimbangan ekonomi, yang itu sangat berpengaruh positif bagi stabilitas kehidupan sosial dan politik. Dengan menjalankan sistem ekonomi Islam tidak akan ditemukan realitas suram sebagaimana yang terjadi pada sistem ekonomi kapitalisme. Wallahu a’lam. [] Muhammad Bakri