Malapetaka Liberalisasi Migas
Ulasan Utama Assalim.id | Edisi 86
Oleh: Agan Salim
Assalim.id – Tahun 2022 sepertinya akan menjadi tahun yang berat dari sisi ekonomi bagi mayoritas rakyat di negeri ini. Bagaimana tidak, belum juga pulih tekanan ekonomi akibat pandemi, memasuki awal tahun ini rakyat sudah harus menelan pil pahit berupa kenaikan beberapa komoditas vital seperti minyak goreng dan akan dilanjutkan dengan hilangnya beberapa jenis BBM seperti solar, premium, dan pertalite.
Kenaikan harga minyak goreng misalnya, yang saat ini menjadi sorotan karena harganya terus melonjak hingga 40 persen dibandingkan tahun lalu. Sebut saja harga minyak goreng curah mencapai Rp 18.550 per kilogram (kg) pada Rabu (5/1/2022). Harga sudah naik 36,9 persen dari sebesar Rp 13.550 per kg, pada 5 Januari 2021. Kemudian harga minyak goreng kemasan bermerek 1 kini di posisi Rp 20.800 per kg, naik 37,2 persen dari sebelumnya hanya Rp 15.150. Adapun harga minyak goreng kemasan bermerek dari Rp 14.500, melonjak 40 persen menjadi Rp 20.300 per kg. (Liputan6.com 06/01/2022).
Belum lagi dalam waktu dekat harga BBM murah akan dihapus, dan rakyat terpaksa beralih ke BBM non subsidi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menyampaikan rencana penggantian bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dengan Pertalite mulai tahun 2022. Dengan begitu, nantinya BBM jenis Pertalite yang memiliki RON 90 juga akan dihapus. Walhasil, masyarakat bakal menggunakan BBM dengan minimal RON 92 atau jenis Pertamax (tempo.co, 25/12/2021).
Dua realitas di atas akan memicu naiknya berbagai produk ikutan yang pastinya akan semakin memberatkan beban hidup mayoritas rakyat di negeri ini. Tentu publik dibuat tidak habis pikir, bagaimana mungkin negeri yang kaya dengan sumber daya migas dan produsen kelapa sawit (CPO) terbesar di dunia harus mengalami hal yang demikian tragis.
Fakta ini semakin mengonfirmasi bahwa bangsa ini sedang disandera dan bertekuk lutut di bawah korporasi minyak asing dan oligarki yang bermain dalam skala global. Semua ini bermula dari lahirnya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas) Bumi, terutama secara eksplisit pada pasal 28 ayat 2, berkaitan soal pelepasan harga minyak dan gas bumi yang mengikuti harga pasar (liberalisasi migas).
Liberalisasi migas inipun semakin sempurna dengan UU Minerba No. 3 Tahun 2020 serta beberapa perubahan Pasal dalam UU Cipta Kerja, yang banyak dugaan sangat kental dengan kepetingan kelompok para kapitalis oligarki migas dan SDA.
Akhir dari kebijakan inilah yang membuat bangsa ini tidak lagi berdaulat secara total baik secara ekonomi dan politik. Di mana semua aktivitas ekonomi, mulai kegiatan produksi, distribusi, konsumsi, dan harga semuanya telah sempurna mengikuti mekanisme pasar bebas.
Analisis Jhon Perkins dalam tajuk Confessions of an Economic Hit Man (2007) nyata sudah, di mana kekuatan korporatokrasi seperti yang disinggungnya telah berhasil menjajah ekonomi di banyak negara dari hulu sampai hilir.
Pada titik inilah diperlukan sebuah terobosan fundamental atau mendasar untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi khususnya kedaulatan SDA dan migas kepada rakyat. Karena sejatinya SDA dan migas adalah harta milik umum/rakyat yang harusnya meringankan hidup rakyat bukan sebaliknya menjadi beban hidup rakyat sepanjang hidupnya.
Hal tersebut sejalan dengan pandangan Islam bahwa hutan, air, dan energi adalah milik umum sebagaimana hadits Rasulullah SAW ‘‘Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal air, padang rumput dan api“(HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Maka, pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based management) tapi harus dikelola sepenuhnya oleh negara (state based management) dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk pelayanan. []