Lockdown Vs “Kalau Nggak Keluar Kerja, Nggak Makan”

Last Updated: 18 Maret 2020By

Oleh : Agan Salim.

Aliansi Pengusaha Muslim – Salah satu alasan yang paling sering dikeluhkan oleh masyarakat tak bisa “Lock Down” adalah “Kalau nggak keluar kerja, nggak makan”.

Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan memang. Mau bagaimana lagi, karena penghasilan mereka memang adalah gaji harian. Ini yang seharusnya dapat perhatian penuh juga dari pemerintah dengan kebijakan “stay at Home, ataupun worst skenario “Lockdown”. Sebagaimana negara-negara lain yang memberikan bantuan kepada rakyatnya yang terdampak Lockdown di masa wabah Covid.

Pertanyaannya berapa sih jumlah masyarakat kita yang punya kategori pendapatan “kalau gak keluar gak makan”, yang harus disubsidi pemerintah?
Saya coba kalkulasi dengan dimulai dari definisi miskin dan data orang miskin yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia.
Definisi miskin BPS adalah seseorang dikategorikan sebagai miskin jika tidak mampu dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan.
DKI Jakarta misalnya, garis kemiskinan untuk satu keluarga sekitar Rp3,3 juta. Tetapi BPS menetapkan garis kemiskinan rata-rata secara nasional sebesar Rp.1,99 juta per rumah tangga dengan anggota rumah tangga miskin itu antara 4 sampai 5 orang. Nilai ini sama dengan Rp.66.666/hari (dibulatkan Rp.67.000/hari/keluarga)

Per september 2019 data BPS menunjukkan data penduduk miskin menurun (katanya) menjadi kurang lebih 24,97 juta orang (dibulatkan 25 juta orang) atau sekitar 9 % dari total penduduk Indonesia.

Maka total subsidi pemerintah selama lockdown 14 hari kerja kepada penduduk yang “nggak keluar nggak makan”, sebesar Rp.67.000 x 14 x 25 juta orang = Rp. 23 T lebih.

Dana ini relatif sangat kecil dibanding rencana penggunaan dana APBN untuk pindah ibukota baru sebesar Rp. 466 T. (27/08/2019)

Inilah fakta bahwa negeri sudah tersandera dan tidak berdaya dengan para kapitalis/pemodal, Semua harus mengikuti hawa nafsu dan kerakusan pemilik modal, yang akhirnya pilihan lockdown Untuk menyelamatkan rakyatpun tak menjadi pilihan utama, padahal ancaman Corona virus kian terus semakin banyak menelan korban, dan menjadi ancaman serius yang menakutkan bagi mayoritas penduduk di negeri ini.

Tapi pemandangan yang mirispun terjadi, disaat mayoritas rakyat yang kalau nggak kerja nggak makan, sehingga harus menghadapi badai ancaman dengan nyawa sebagai taruhannya, tapi tidak bagi para kaum Borjuis dan para kroni-kroni pemilik bisnis menggurita di negeri ini. Bagaimana tidak Ironis dan anomali seperti yang disampaikan oleh Dirut Garuda Irfan Setia Putra, Tiba-tiba penerbangan Garuda ke Singapura full. Mereka bahkan menambah frekuensi penerbangan karena tingginya permintaan. Banyak yang berbondong-bondong mengungsi ke negeri tersebut.

Padahal Singapura memberlakukan aturan ketat, semua pengunjung harus menjalani karantina selama 14 hari dan mereka harus bisa menunjukkan bukti tempat tinggal tetap di Singapura. Dan ini semua mustahil bisa dilakukan oleh orang-orang kelas menengah, driver ojol, bahkan buruh pabrik. Realitas di atas hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya dan super kaya.

Mereka inilah yang sering disebut sebagai the crazy rich. Kelompok yang kayanya gak ketulungan. Kita bisa gila membayangkannya. Buat mereka tak terlalu penting apa yang terjadi di negeri ini.

Nanti ketika Indonesia sudah aman, baru pulang. Kembali mengeruk kekayaan. Bahkan dalam situasi ekonomi yang kacau balaulah justru peluang besar buat mereka ? Karena kesulitan likuiditas maka aset-aset akan diobral dengan sangat murah.

Akhirnya, ini semua menjadi perenungan buat umat dinegeri ini. Sudah demikian hilangkah akal sehat kita bahwa realitas ini bisa terjadi akibat mesin produksi kerusakan dalam bentuk sistem kapitalis yang diinstall dinegeri ini, sehingga yang berdaulat sejatinya bukan pemerintah dan para pemilik modal (kaum kapitalis)