
Haris Abu Muthiah
Assalim.id I Ulasan Utama
Dalam beberapa hari terakhir isu wakaf hangat diperbincangkan di jagat media sosial. Hal ini menyusul diluncurkannya Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) dan Brand Ekonomi Syariah Tahun 2021 oleh Presiden Jokowi. Tidak sedikit yang menolak. Dianggap pilih-pilih syariat.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, wakaf adalah salah satu ajaran Islam yang memuat pesan kepedulian, berbagi, dan upaya melakukan pemerataan kesejahteraan masyarakat, juga memiliki dimensi ekonomi, dan dapat dijadikan instrumen dalam mengatasi kesenjangan.
Dari sisi ibadah menurut Makruf Amin karena wakaf ini disebut juga sebagai sedekah jariyah. Yakni amal sedekah yang pahalanya akan terus mengalir kepada pelakunya (wakif), selama pokok harta benda yang disedekahkan itu masih ada dan hasilnya dimanfaatkan untuk perbuatan kebajikan. (rmol.id,26/1/2021).
Tapi benarkah wakaf ini murni kepentingan ibadah?, atau ja gan-jangan kepentingan bisnis untuk mendapatkan keuntungan melalui dana umat?. Bila ditelisik lebih dalam apa yang disampaikan staf Mentri Keuangan, Suminto, bahwa Nazhir bisa menginvestasikan wakaf uang dalam berbagai bentuk, disimpan di bank syariah sebagai deposito, atau di capital market.
Nashir juga bisa menginvestasikan dana yang dikelolannya dengan membeli instrumen pemerintah, misalnya sukuk atau Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) yang diterbitkan oleh Kemenkeu. Bisa juga bentuk investasi lain yang ada risiko bisnisnya.
Memang sulit diterima akal sehat jika wakaf ini semata-mata tujuan ibadah. Tapi patut diduga kalau kepentingan bisnisnya lebih kental, mengapa?. Hal ini karena kerangka berpikir rezim lebih dipengaruhi oleh pemikiran kapitalis yang cenderung melihat sesuatu dengan kacamata untung rugi ketimbang aspek pahalanya.
Hal ini bisa dilacak dari cara berpikir Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menurut Sri masyarakat bisa menyimpan asetnya dalam jangka waktu yang ditentukan seperti 2 tahun dan 6 tahun. “Jadi bisa saja uang saya, saya wakafkan untuk 2 tahun, nanti dia cair balik lagi hasil dari investasi itu yang diwakafkan,” Katanya (CNBC Indonesia, 26/10/2020)
Cara berpikir seperti ini bukan tanpa alasan karena
Potensi wakaf di Indonesia bisa mencapai Rp 217 triliun. Dalam kalkukasi menteri terbaik versi bank dunia ini potensi wakaf setara dengan 3,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang berasal dari 74 juta penduduk kelas menengah saja.
Bahkan terdapat proyek senilai Rp597 miliar yang sebagian dananya dipenuhi lewat wakaf hingga 20 Desember 2020. Kemudian, total wakaf tunai yang terkumpul dan dititipkan di bank sebesar Rp328 miliar per 20 Desember 2020.
Cara berpikir Presiden Joko Widodo juga sama kendati datanya berbeda. Saat meluncurkan GWNU (21/1/2021) beliau mengungkapkan, untuk wakaf dalam bentuk aset, potensinya bisa mencapai Rp 2.000 triliun per tahun. Sementara untuk wakaf dalam bentuk uang, potensinya mencapai Rp 188 triliun.
Karena itu tidak berlebihan jika Jokowi mengatakan, bahwa pemanfaatan wakaf perlu diperluas tidak sekedar untuk tujuan ibadah tapi bisa dikembangkan ke tujuan sosial yang memberi dampak pada pengurangan kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Pemanfaatan wakaf untuk kepentingan bisnis semakin dipertegas Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) Kamaruddin Amin, bahwa uang wakaf yang terhimpun akan diinvestasikan ke berbagai macam produk keuangan syariah yang resmi. Misalnya, deposito mudharabah, musyarakah, bahkan sukuk atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Fakta-fakta diatas cukup jelas memberi gambaran bahwa GNWU yang diluncurkan Jokowi semakin mempertegas bahwa ini upaya rezim mengeksploitasi dana umat untuk menutupi kelemahan keuangan yang selama ini terjadi. Pendapatan APBN menurun tapi utang luar negeri hingga akhir Desember 2020 mencapai 6.074,56 triliun (okezone, 17/1/2021).
Sudahlah, toh umat tidak mudah percaya dengan kebijakan rezim seperti ini kendati memakai label Islam. Ini hanya upaya membangun pencitraan, bahwa rezim ini tidak anti Islam, tidak memusuhi ulama. Ini hanya lagu lama yang diputar ulang dan berulang. Dari zaman dulu sudah begitu. Islam politik tidak akan pernah mendapat tempat dikekuasaan
Bukankah di rezim Jokowi-Makruf banyak pejuang Islam dan ulamanya yang dikriminalisasi bahkan berujung penjara, seperti yang menimpa Habib Rizieq Shihab?. Bukankah umat juga sudah tahu kalau rezim ini terkesan hanya melirik syariat tertentu saja yang ada nilai materinya tapi menolak syariat lain?.
Menerima syariat zakat dan wakaf tapi menolak ekonomi tanpa riba secara kaffah. Menerima perintah puasa tapi menolak rajam dan qishas. Menerima perintah haji tapi menolak perintah menutup aurat. Menerima alquran sebagai pedoman hidup tapi menolak alquran diberlakukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengakui bahwa istilah khilafah tertulis di kitab-kitab para ulama tapi menolak di jadikan sebagai sistem pemerintahan. Jihad diajarkan dimadrasah-madrasah tapi ditolak karena dianggap mengajarkan kekerasan. Wakafnya diambil tapi syariat lainnya ditolak sesuai hawa nafsunya. Ini kan Memalukan!.
Bukankah sikap penolakan seperti ini adalah karakter kemunafikan Bani Israil, umatnya nabi Musa, yakni memilih-milih hukum dan mengambil sesuai keinginannya saja?. Ibarat orang yang sedang makan prasmanan hanya mengambil sesuai seleranya. Tindakan seperti ini tidak sesuai ajaran Islam.
Islam tidak mengenal pemisahan agama dengan kehidupan (sekularisme). Allah SWT berfirman :”Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab (Taurat) dan mengingkari sebagian yang lain?. Tiada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian,melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat” (Qs. al-Baqarah : 85).
Sudahlah dicap munafik oleh Allah SWT, umat juga sudah tidak menaruh kepercayaan kepada kebijakan ini karena tingkat keamanahan rezim terhadap pengelolaan dana umat, ditengah ramenya kasus korupsi bansos covid-19 sebesar Rp 20,8 miliar yang melibatkan ex Menteri Sosial, Juliari Batubara.
Belum lagi korupsi Jiwasraya yang merugikan keuangan negara senilai Rp 16,807 triliun. Dugaan korupsi dalam pengelolaan keuangan BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp 43 triliun. Megaskandal korupsi Asabri Rp 23 T (cnbcindonesia,3/2/2021). Masih Percaya dengan Sistem Kapitalisme?
Cukup!. Sekali lagi cukup sampai disini saja kepercayaan ini diberikan kepada siapa saja yang menolak hukum Allah SWT tegak dipermukaan dunia ini. Tidak ada kebaikan mengambil hukum buatan manusia kecuali hanya kesengsaraan semata. Sistem Kapitalisme hanya menjadi lahan para kapitalis untuk meraih keuntungan materi sebesar-sebesarnya.
Maka sebelum terlambat saatnya berbenah dan kembali pada Islam. Biarkan Islam yang mengaturnya. Dengan sistemnya yang bersumber dari Maha sempurna pasti akan memanusiakan manusia. Yakinlah pasti akan memberikan kebahagian, kesejahteraan, dan keberkahan bagi seluruh penduduk bumi. Tunggu apa lagi!
Wallahu a’lam bi ash shawab