Kuhp Berpotensi Sebagai Alat Kriminalisasi Dan Menjatuhkan Lawan Politik
Ulasan Utama Assalim.id
Oleh: Pujo Nugroho
Assalim.id – Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) akhirnya disahkan menjadi Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RKUHP, Selasa (06/12/2022).
KUHP yang awalnya masih berupa RKUHP terus mendapat penolakan dan kritikan. Bahkan hingga pengesahannya di dalam gedung parlemen. RKUHP dianggap menyasar keleluasaan berekspresi dan berpendapat masyarakat di depan publik. Beberapa pasal seperti penghinaan presiden dan pemerintah kembali dimunculkan. Padahal, pasal penghinaan presiden pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Berdasarkan draf RKUHP yang disahkan dan bertanggal 6 Desember 2022, terdapat pasal yang mengatur tentang penghinaan pemerintah dan lembaga negara. Dalam penjelasannya, pemerintah adalah presiden yang dibantu wakil presiden dan para menterinya. Sedangkan lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara diatur dalam Pasal 240, dan Pasal 241 RKUHP. Pasal 240 mengatur tentang penghinaan yang dilakukan secara lisan atau tulisan di muka umum.
Dalam Pasal 240 Ayat (1) disebutkan penghinaan pada presiden atau lembaga negara di muka umum diancam podana maksimal 1,5 tahun atau denda kategori II (maksimal Rp 10.000.000). Jika penghinaan itu menyebabkan kerusuhan di masyarakat maka ancaman pidana penjaranya meningkat menjadi maksimal 3 tahun atau denda kategori IV (maksimal Rp 200.000.000).
Sedangkan Pasal 241 Ayat (1) menjelaskan penghinaan pemerintah atau lembaga negara melalui sarana teknologi informasi diancam pidana paling lama 3 tahun atau denda kategori IV. Jika tindakan itu menyebabkan kerusuhan, maka pelaku diancam pidana penjara maksimal 4 tahun atau denda kategori IV.
Pakar hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar pernah menanggapi dihidupkannya kembali pasal penghinaan dalam RKUHP bisa disalahgunakan oleh pihak yang berkuasa. Aturan tersebut bisa dijadikan alat untuk menjatuhkan lawan politik dan membungkam kritik.
“Selain menuntut murni yuridis, tapi juga bisa memukul lawan politik atas perbedaan pendapat,” ujar Fickar melalui keterangan tertulis, seperti yang diberitakan Kompas.com (Senin, 12/2/2018).
Hal yang sama diungkapkan oleh Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara. Menurutnya beberapa pasal RKUHP dapat dipakai dengan mudah untuk mengkriminalisasi masyarakat. Seperti yang diberitakan CNNIndonesia.com (5/12/2022).
Tidak saja soal kritik terhadap lembaga negara, kepala negara dan simbol negara, tetapi juga soal ideologi rakyat yang bertentangan dengan Pancasila.
“Satu saja yang mengerikan sekali, kalau kita membahas soal ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Itu luas banget, bukan cuma marxisme, leninisme, kok bisa ya itu dikriminalkan. Tapi bahkan apapun yang dianggap bertentangan dengan Pancasila nanti bisa dipidana,” ujarnya.
Bivitri berpendapat jika RKUHP disahkan, kritik dan kontrol dari rakyat kepada pemerintah akan mendapat batasan atau malah rentan terkena pidana. Dia menilai pembuatan RKUHP hanya demi kenyamanan penguasa, termasuk presiden.
“Iya ini untuk kenyamanan presiden,” tuturnya.
Penggunaan pasal-pasal di atas di masa depan jika memang ada ruang untuk menjatuhkan dan mengkriminalisasi mereka yang kritis maka akan terbuka lebwar pintu otoritarianisme penguasa. Padahal kritik sendiri adalah sebuah keniscayaan sebagai kontrol agar jalannya pemerintahan tetap dalam upaya mengurusi rakyat.[]