Krisis Pangan, Energi, Dan Inflasi Berujung Resesi, Apa Akar Masalahnya ?
Agan Salim
Bank Dunia dalam Global Economic Prospects edisi Juni 2022 memperingatkan resesi ekonomi bersamaan dengan inflasi yang tinggi atau disebut stagflasi, bahkan situasi saat ini memiliki banyak kemiripan dengan dekade 1970-an dimana gangguan sisi pasokan yang terus-menerus didahului oleh kebijakan moneter yang akomodatif di negara-negara maju.
Bagi banyak pengamat, stagflasi ini akan sangat berbahaya karena dari sisi permintaan akan menggerus daya beli masyarakat, sementara dari sisi tenaga kerja akan berisiko terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Selanjutnya, gejolak ekonomi global ini akan mempengaruhi melemahnya mata uang dan depresiasi. Ketika depresiasi terjadi, semua agenda ekonomi akan terpengaruh.
Dari sanalah sejatinya sumber malapetakan yang terjadi saat ini. Dampak turunannya dapat kita lihat di negeri ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan pada Rabu, 6 Juli 2022 di zona merah. IHSG ditutup melemah 0,85% ke level 6.646,41. Ambruknya IHSG seiringan dengan pelemahan rupiah yang menembus ke level level Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat.
Kondisi pasar non riil inipun langsung berdampak nyata bagi kondisi ekonomi riil, merujuk pada Data Statistik Sistribusi dan Jasa BPS, beberapa komoditas mengalami peningkatan dari sisi harga. Dari sisi energi, minyak mentah yang kini harganya menjadi US$ 109,6 per barel dari US$ 65 per barel dan batu bara dari US$ 99,3 mt menjadi US$ 280 mt.
Dalam kelompok pangan, ada minyak kelapa sawit (CPO) dari US$ 1.136 mt menjadi US$ 1.716,9 mt atau naik 51,08% (yoy). Kopi alami kenaikan 29,39% menjadi US$ 2,3 /kg, gandum naik 75,71% menjadi US$ 522,3 mt, kedelai naik 11,95% menjadi US$ 724,1 mt dan daging sapi naik 10,9% menjadi US$ 6,1 /kg.
Narasi yang dibangunpun seolah-olah lonjakan harga tersebut dipengaruhi oleh perang Rusia dan Ukraina, padahal semua terjadi karena dampak dari larangan ekspor terhadap barang tertentu di berbagai negara. Seperti Rusia menahan pasokan gandum, biji bunga matahari, pupuk, pupuk nitrogen. India juga melarang ekspor gandum. China juga ikut melarang ekspor pupuk. Ukraina membatasi ekspor unggas, telur, minyak bunga matahari dan daging sapi. Indonesia sendiri sempat melarang ekspor CPO dan turunannya namun sudah dibuka kembali.
Atas dasar kebijakan disektor non riil yang berlajut ke sektor rill itulah yang akhirnya memunculkan krisis pangan dan energi dunia saat ini. Kalau kita mau menelisik lebih jauh maka sumber utama dari kesemuanya itu adalah akibat dari kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi sistem kebijakan ala kapitalisme sekuler yang diadopsi dunia saat ini.
Pada praktek privatisasi, akar dari masalah resesi tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga saja seperti yang sering didengungkan oleh banyak negara dan media. Lebih mendasar dari itu, fakta yang sebenarnya terjadi negara tidak lagi punya kedaulatan dan kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan dunia telah bergantung pada mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa (kapitalis) yang berjalan mulus di sistem ekonomi kapitalisme diterapkan dunia saat ini.
Lanjutan dari privatisasi adalah kebijakan liberalisasi, dalam hal ini sangat jelas bagaimana penyerahkan urusan energi dan pangan pada mekanisme pasar lewat kebijkan Agreement on Agriculture, WTO 1995 yang mengakibatkan negara dikooptasi menjadi penjaga dan regulator perdagangan bebas. Negara dipaksa melakukan liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyatnya.
Market access dipaksa dibuka lebar, bahkan hingga 0 persen, bahkan“domestic subsidy” untuk petani terus dikurangi (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga) sementara “export subsidy” dari negara-negara overproduksi terus meningkat. Indonesia adalah salah satu contoh negara yang dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestic hancur dan petani harus terus menerus menderita dan termarginalkan.
Dihulunya tidak kalah mengerikan, privatisasi dan liberalisasi harus bisa dipastikan berjalan mulus dan sempurna lewat kebijakan deregulasi. Dalam teorinya deregulasi adalah kebijakan/perihal pengurangan atau menghilangkan suatu aturan yang mampu menghambat aktivitas ekonomi tertentu. Karena yang berdualat adalah korporasi, maka sudah barang tentu aturan deregulasi akan mengikuti arahan mereka. Dengan kemudahan deregulasi inilah, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan dan energi dunia terjadi saat ini.
Pada kondisi saat ini dimana krisis pangan, energi dan inflasi dunia yang akan berujung resesi dunia inilah sudah seharusnya dipandang bukan hanya sekedar problem teknis ekonomi semata. Tapi jauh lebih mendasar dari itu, bahwa akar masalah dari semua ini adalah penerapan sistem tata kelola kehidupan tak terkecuali sistem ekonomi yang rusak (sistem kapitalisme liberal).
Sehingga tidak ada solusi permanent untuk menyudahi itu semua kecuali kembali menerapkan aturan pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan yaitu aturan Allah SWT lewat penerapan syariatnya yang secara historis, empiris, dan fakta kekinian telah terbukti dan sangat dibutuhkan umat manusia abad ini. []