Krisis Energi Dunia, Inflasi Di Depan Mata Oligarki “Pesta Pora”
Ulasan Utama Assalim.id | Edisi 79
Oleh: Agan Salim
Assalim.id – Saat ini, krisis energi sedang menghantam dunia seperti Eropa, China, India, Jepang dan AS. Negara tersebut mayoritas mengalami krisis listrik, akibat dari melonjaknya harga gas alam dunia dalam beberapa waktu terakhir.
Hal ini membuat pengamat ekonomi khawatir. Karena ini akan berdampak pada naiknya inflasi global. Khususnya risiko jangka pendek yang signifikan terhadap inflasi global di banyak negara berkembang.
Bahkan lonjakan harga energi menimbulkan risiko jangka pendek yang signifikan terhadap inflasi global jika berkelanjutan, dan pastinya dapat membebani pertumbuhan di negara-negara pengimpor energi ungkap Kepala Ekonom dan Direktur Grup Prospek Bank Dunia Ayhan Kose, dilansir dari Channel News Asia, tanggal 22/10/2021.
Negeri inipun tak luput dari ancaman di atas, mantan Gubernur Indonesia untuk OPEC, Widhyawan Prawiraatmadja mengungkapkan bahkan kenaikan harga energi yang melambung bisa mempengaruhi peningkatan harga komoditas lain hingga ke sektor jasa sehingga mampu mengancam kenaikan inflasi melebihi target. Hal ini bisa terjadi karena kondisi Indonesia sangat rentan terhadap peningkatan harga energi primer, khususnya minyak bumi plus BBM dan LPG yang ketergantungan pada impornya tinggi.
Realitas naiknya inflasi ekonomi pastinya berdampak bagi rakyat, terutama rakyat miskin, tapi tidak bagi para oligarki. Mereka yang menguasai lahan kelapa sawit, tambang batu-bara, nikel, dan tembaga menikmati naiknya harga komoditas tersebut.
Dengan naik tingginya harga komoditas tambang, justru membuat eksploitasi dan eksplorasi makin gencar dan menggila. Apalagi dalam industi ini sejumlah nama-nama yang ditemukan bukanlah nama yang asing dalam level kekuasaan. Hal ini juga menunjukkan bahwa dari hulu ke hilir, industri tambang telah dicengkeram oleh elit-elit kaya atau oligarki.
Menurut pengamat ekonomi Faisal Basri, oligarki akan terus-menerus mengeksploitasi sumber daya yang ada dan menjualnya dengan sistem kapitalis. Apalagi hal tersebut kini telah dilegalisasi dengan Undang-Undang Cipta Kerja/Omnibus Law (seputartangsel.com, 30/10/21).
Memotret perselingkuhan antara oligarki dan para penguasa sejatinya adalah lanskap politik Indonesia saat ini. Dan semua tidak bisa dilepaskan dari kalkulasi modal dalam jumlah besar yang bergerak pada setiap pagelaran pemilu.
Pembakaran uang dalam bentuk investasi politik ini sejatinya demi kelancaran bisnis dan eksplorasi sumber daya alam lebih jauh kedepannya.
Bencana turunan dari realitas di atas tidak bisa terelakkan seperti terciptanya konflik kelas kaya dan miskin yang kian lebar, belum lagi dampak rusaknya lingkungan merupakan ancaman yang tidak kalah menakutkan. Lingkungan yang tercemar menyebabkan kematian bagi jutaan partikel kehidupan, air yang tidak dapat lagi diminum, tanah yang rusak sehingga tidak dapat ditumbuhi aneka perkebunan, serta polusi udara yang sangat mematikan.
Tidak ada jalan lain untuk menghentikan itu semua, kecuali negara harus segera membongkar ulang tata kelola penggunaan sumber daya alam, sehingga menutup celah para oligarki yang telah jelas-jelas telah mengangkangi konstitusi.
Tata kelola sumber daya alam tidak boleh bersandar pada persoalan bisnis belaka, tapi jauh dari itu semua harus kembali ke tata kelola dari aturan pencipta Allah subhanahu wata’ala. Hanya dengan kembali ke syariat-Nya dalam tata kelola sumber daya alam sajalah negeri ini bisa mewujudkan cita-cita pendiri bangsa ini, yaitu mewujudkan negari yang “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”.[]