Categories: Ulasan Utama

assalim

Share

Agan Salim

Awal bulan April 2021, jagat hukum negeri ini kembali dihebohkan dengan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pengusutan kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim.

Awal kasus ini muncul disebutkan bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan Sjamsul sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab menyelesaikan kewajiban baik secara tunai atau berupa penyerahan aset saat itu sebesar lebih dari Rp47 triliun. (CNN Indonesia 01/04/2021)

Inilah cermin kecil dari banyaknya kasus mega korupsi di negeri ini. Setali tiga uang, wajah penegakan hukum seperti tak bertaji saat berhadapan dengan megakorupsi. Padahal, kejahatan korupsi adalah sumber segala bencana dan kejahatan (the roots of all evils) ungkap Kwik Kian Gie, bahkan Koruptor adalah “the real terrorists” seperti yang pernah diungkap oleh Hidayat Nurwahid.

Bagaimana tidak, uang triliunan rupiah yang dijarah seorang koruptor, misalnya adalah biaya hidup-mati ratusan juta penduduk miskin negeri ini. Dalam konteks inilah, koruptor layak disebut “the real terrorists”. Adalah mimpi di siang bolong untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan, mempertinggi mutu pendidikan dan lain-lain, bila korupsi masih dibiarkan menari-nari di depan mata bahkan menjadi budaya di level eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Karena begitu sistemik dan akutnya perkara ini, sehingga perang melawan korupsi sejatinya perang melawan mafia yang amat solid di semua lini entah itu di yudikatif, eksekutif, dan legislatif. Di lembaga yudikatif misalnya, representasi korupsi disandang oleh semua unsur penegakan hukum hakim, jaksa, polisi, advokat, panitera, pegawai peradilan, makelar perkara, para ahli hukum dari perguruan tinggi, serta tidak ketinggalan para pihak yang berperkara.

Pembrantasan korupsi yang dilakukan oleh eksekutif dan legisltif kiat berat dan bak lingkaran setan saat aparat penegak hukum, yang merupakan salah satu garda terdepan pemberantasan korupsi, justru yang paling parah terjangkiti judicial corruption (mafia peradilan)

Dengan fakta yang sedemikian membahayakan, sudah sewajarnya korupsi masuk dalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) dan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Artinya korupsi bukan hanya haram, tetapi kejahatan “maha-haram”. Sehingga mengatasinya tidak boleh dengan sikap abuabu bahkan terkesan lunak, penuh tolerasnsi, dan jauh dari rasa keadilan baik dalam bentuk perlakuan maupun hukuman yang dijatuhkan kepada pelakunya.

Korupsi tidak bisa dilihat sebagai pencurian biasa, karena kalau pencurian hanya berdampak pada ekonomi, namun korupsi berdampak holistik. Jika korupsi ada di system pemerintahan dan negara, maka semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara akan rusak.

Di dalam konsep ekonomi Islam, korupsi mempunyai tiga istilah yaitu Al-rishwah (suap menyuap atau gratifikasi), Al-shut (gratifikasi atau suap), Al-ghul(menyembunyikan sesuatu yang bukan haknya). Sistem Islam memberi peringatan dan melaknat siapa saja yang melakukan tiga perbuatan diatas.

Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat.

Islam menempatkan korupsi dalam kategori jarimah takzir atau merupakan sanksi hukum yang diberlakukan kepada seseorang pelaku jarimah atau tindak pidana yang melakukan pelanggaran-pelanggaran baik berkaitan dengan hak Allah swt maupun hak manusia. Sanksi hukum takzir dapat berupa hukuman penjara, hukuman denda, masuk dalam daftar orang tercela, hukum pemecatan, bahkan hukuman mati. Wallahu a’lam bishawab[]

Editor's Pick

    Leave A Comment

    Related Posts