Konsep Defisit Apbn, Menyengsarakan

Last Updated: 13 Juni 2020By

ِِِAliansi Pengusaha Muslim – Untuk ketiga kalinya Pemerintah kembali mengubah outlook defisit APBN tahun 2020 dari 6,27 persen menjadi 6,34 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pelebaran defisit fiskal ini merupakan implikasi dari outlook shortfall pendapatan negara yang masih jauh dari ekspektasi. Demikian seperti pernyataan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani (Bisnis.com, 3/6/2020).

Seperti diketahui beban keuangan negara semakin berat untuk penanganan Covid-19. Di lain sisi kebutuhan anggaran untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sangat tinggi. Hal ini memaksa pemerintah menambalnya dengan meningkatkan jumlah pembiayaan (utang) di dalam APBN.

Sebagai negara yang menganut ekonomi kapitalisme, pendapatan negara berasal dari pajak. Dan semua pemasukan tersebut masih berupa asumsi-asumsi. Bukan realita hanya perkiraan. Betul saja, hingga saat ini Kementerian Keuangan masih kesulitan mencapai target pendapatan negara. Inilah kondisi aktual APBN Indonesia, tekor. Dalam keadaan normal saja Indonesia selalu defisit apalagi dalam kondisi pandemi seperti ini.

Keadaan makin rumit karena mengharapkan utangan baru juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Seperti yang disampaikan Teten Masduki, Menteri Koperasi dan UKM yang menurutnya pemerintah akan kesulitan mencari pinjaman baru, pun menerbitkan surat utang juga tidak mudah (kumparan.com, 19/5/2020).

Konsep defisit anggaran dianut Indonesia sejak reformasi pasca-krisis ekonomi tahun 1998. Di bawah bimbingan lembaga donor (IMF dan World Bank), pemerintah melakukan perombakan besar-besaran dalam pengelolaan anggaran. Pemerintah mengubah UU No 9 Tahun 1968 menjadi UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Anggaran defisit adalah kebijakan yang menghendaki posisi pengeluaran negara lebih besar daripada posisi penerimaan negara dalam satu tahun anggaran. Selanjutnya, defisit ditutupi dengan mengajukan utang ke negara donor atau menerbitkan obligasi.

Sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 12 ayat 3 UU No/17/2003, setiap tahunnya, pemerintah dan DPR menetapkan defisit dalam APBN tidak lebih dari 3 persen dari PDB, sedangkan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari PDB. Dan sesuai “Perppu Corona” yaitu Perppu nomor 1 tahun 2020 yang kini telah disahkan menjadi UU nomor 2 tahun 2020 batasan defisit diperkenankan melebar lebih dari 3 persen.

Konsep anggaran defisit khas ala kapitalisme ini sangat membahayakan. Pertama, konsep defisit anggaran membuat negara secara default selalu berutang. Kedua, pertimbangan berutang tidak dilihat dari kemampuan membayar tetapi disandarkan pada PDB padahal kita semua tahu PDB bukanlah kas negara. Mestinya pertimbangan berutang atau tidak dilihat dari pendapatan negara dan kemampuannya untuk membayar.

Ini terbukti untuk membayar utang kita harus berutang terlebih dahulu. Bahkan terkadang bukan pembayaran utang pokok tetapi bunga utang saja. Tak peduli apakah sedang dilanda pandemi atau tidak. Hal ini seperti diungkapkan Menteri Keuangan (Jumat, 8/5/2020) bahwa penerbitan surat utang periode Mei hingga Desember 2020 salah satunya adalah untuk membayar utang utang jatuh tempo tahun ini sebesar Rp 433,4 triliun (nusadaily.com, 9/5/2020).

Apa dampaknya kebijakan ini? Dampaknya pemerintah akan menekan anggaran belanja. Anggaran sosial, pendidikan, dan lainnya sedikit atau banyak akan terdampak. Bukankah pemerintah sudah menurunkan bantuan sosial yang sebelumnya Rp 600 ribu menjadi separuhnya, Rp 300 ribu? Ini hanya sebuah indikasi.

Ketika negara membutuhkan anggaran lebih besar seperti saat pandemi sekarang negara akan lebih mengalami kesulitan. Inilah yang kita rasakan saat ini. Seolah tidak ada headline berita lain selain berita pemerintah mencari utangan baru.

Konsep anggaran ala kapitalisme ini terbukti menyulitkan. Membawa Indonesia tertawan dengan lembaga donor maupun negara asing melalui jerat utang. Resources yang dimiliki Indonesia seolah tidak menetes manfaatnya ke rakyat malah kita terus-terusan membayar utang dan bunga utang. Sampai kapan? Wallahua’lam. [] Pujo Nugroho