Kenaikan Harga Bbm & Pencabutan Subsidi Kebijakan Kejam Ala Neo-Liberal
Fokus Utama Assalim.id
Oleh : Agan Salim
Sebulan terakhir ini, jagat media massif memberitakan wacana menaikan harga BBM bersubsidi menjadi harga yang sesuai dengan harga keekonomian. Hal ini disampaikan oleh Menkeu Sri Mulyani bahwa harga solar subsidi saat ini Rp5.150 per liter. Padahal, katanya jika mengacu pada harga ICP US$100 per barel dan nilai tukar rupiah Rp14.450 per dolar AS, maka harga keekonomian solar seharusnya Rp13.950 per liter.
Wacana ini menggemuka, sebagai alasan pemerintah lewat Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah dan DPR RI sepakat untuk menanggarkan subsidi energi sebesar Rp502 triliun pada APBN 2022, namun kuota subsidi tersebut akan habis dalam waktu dekat.
Bahkan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan buka suara mengenai rencana pemerintah menaikkan harga BBM subsidi. Menurut dia, Presiden Jokowi yang akan mengumumkan langsung. Tapi dia enggan menyebut kapan pengumuman dilakukan. “Tunggu kabar dari presiden ya, pasti nanti diumumkan,” kata Luhut saat ditemui usai acara Global Human Summit di Hotel Mandarin, Jakarta, Kamis (25/8/2022).
Beginilah model penguasa minin empati, berkedok atas nama subsidi untuk menjalankan agenda poltik ekonominya. Padahal menurut pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Fahmy Radhi, MBA, kenaikan harga BBM sudah pasti akan menyulut inflasi.
Diperkirakan, sumbangan inflasi kenaikan Pertalite dan Solar diperkirakan bisa mencapai 1,97 persen. Padahal, inflasi pada Juli 2022 sudah mencapai 5,2 persen sehingga total inflasi akan mencapai 7,17 persen, ini akan menaikkan harga-harga kebutuhan pokok memperburuk daya beli dan konsumsi masyarakat sehingga memperberat beban rakyat, terutama rakyat miskin.
Dari sisi urgensinya patut di pertanyakan terkait kebijakan tersebut. Karena faktanya beban subsidi Rp 502,4 triliun yang di gembar gemborkan belakangan ini adalah total ‘anggaran subsidi energi’ yang terdiri dari subsidi BBM, LPG 3 kg, dan listrik yang diperhitungkan berdasarkan beberapa asumsi harga minyak dunia, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan inflasi.
Sementara itu, realisasi yang benar-benar dikeluarkan (cash out flow) per 31 Juli 2022 atas total subsidi energi baru sebesar Rp 88,7 triliun untuk subsidi BBM dan LPG 3 kg baru sebesar Rp 62,7 triliun sebagaimana yang pernah diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri.
Selain pengeluaran riil subsidi BBM (cash out flow), harusnya pemerintah juga harus jujur bahwa ada tambahan pemasukan riil (cash inflow) di APBN akibat kenaikan harga komoditas ekspor yang meningkat. Jadi sungguh aneh dan tidak ada urgensinya kebijakan menaikan BBM dan pencabutan subsidi.
Kalau tidak urgent dan berdampak buruk bagi rakyat, mengapa pemerintah sepertinya tetap “ngotot” ini mengambil kebijakan tersebut ?
Untuk menjelaskan dan menjawab itu semua, tentu tidak bisa kita lepaskan dari “mazhab”/aliran sistem ekonomi yang di adobsi negeri ini. Negeri ini sejatinya menganut aliran sistem ekonomi kapitalisme neo-liberal. Ini selaras dengan pandangan Friedrich Hayek dan Milton Friedman sebagai penggagas utama lahirnya kapitalisme aliran neo-liberal (neoliberalisme/neokonservatisme) memiliki pandangan bahwa intervensi pemerintah dalam ekonomi adalah “ancaman yang paling serius” bagi mekanisme pasar. (Adams, 2004).
Dari sinilah terjawab sudah, mengapa pencabutan subsidi sangat dianjurkan dalam neoliberalisme, sebab subsidi dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah. Ringkasnya, sikap neoliberalisme pada dasarnya adalah anti-subsidi. Ini karena menurut neoliberalisme, pelayanan publik harus mengikuti mekanisme pasar, yaitu negara harus menggunakan prinsip untung-rugi dalam penyelenggaraan bisnis publik.
Pelayanan publik murni seperti dalam bentuk subsidi dianggap pemborosan dan inefisiensi. Dalam skala internasional, neoliberalisme ini kemudian menjadi hegemoni global melalui tiga aktor utamanya: WTO, IMF dan Bank Dunia.
Hegemoni neo-liberalisme inilah alasan mendasar yang dapat menjelaskan mengapa pemerintah “ngotot” mencabut subsidi berbagai barang kebutuhan masyarakat. Dan alasan inilah yang akhirnya melahirkan alasan-alasan lainnya misalnya alasan bahwa subsidi membebani negara, subsidi membuat rakyat tidak mandiri, subsidi mematikan persaingan ekonomi dan sebagainya.
Sungguh kebijakan kejam ala neoliberal ini sangat bertentangan dengan Islam. Karena dalam perspektif Islam, subsidi itu boleh dan bahkan wajib dilakukan oleh negara. Subsidi dapat dianggap salah satu mekanisme yang boleh bahkan wajib dilakukan negara, karena termasuk pemberian harta milik negara kepada individu rakyatnya apalagi kalau yang dibagikan adalah harta kepemilikan umum nyata-nyata milik umat dan negara sejatinya hanya sebagai pengelolanya saja. []