“Kejam” Saat Pandemi, Ekonomi Minus Perampasan Tanah Surplus

Last Updated: 29 September 2021By

Ulasan Utama Assalim.id | Edisi 76
Oleh Agan Salim

Assalim.id – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meluncurkan Catatan Akhir Tahun 2020 KPA untuk memotret situasi agraria di Tanah-Air sepanjang tahun 2020. Dalam laporannya ada anomali 2020, dimana surplus konflik ditengah ekonomi minus.

Biasanya, di tengah perekonomian yang mengalami resesi, konflik agraria layaknya juga mengalami trend menurun. Sebab rencana investasi dan ekspansi bisnis berskala besar yang bersifat ‘lapar tanah’ menahan diri, melakukan efisiensi bisnis, modal berkurang signifikan, atau bahkan mengalami kolaps.

Namun tidak bagi para oligarki tanah di negeri ini, di tengah minusnya perekonomian nasional dan penerapan PSBB, justru perampasan tanah berskala besar tidak menurun, tetap tinggi dengan cara-caranya makin tak terkendali.

Pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi ternyata tidak menghambat laju perampasan tanah. Di tengah resesi ekonomi rakyat, badan-badan usaha swasta dan negara tidak bisa mengendalikan diri. Justru menjadikan krisis dan pembatasan gerak rakyat, sebagai peluang untuk menggusur masyarakat dari tanahnya.

Dari catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang 2020 sedikitnya telah terjadi 241 letusan konflik agraria akibat praktik-praktik perampasan tanah dan penggusuran. Konflik tersebut tersebar di 359 kampung/desa, melibatkan 135.337 KK di atas tanah seluas 624.272,711 hektar.

Letusan-letusan konflik tersebut terjadi di semua sektor seperti perkebunan, kehutanan, pembangunan infrastruktur, bisnis properti, pertambangan, fasilitas militer, pesisir, pulau-pulau kecil dan agribisnis. Letusan-letusan konflik agraria di atas, tidak jarang diikuti tindakan kekerasan dan kriminalisasi di lapangan.

Bagi rakyat, 2020 adalah tahun perampasan tanah berskala besar yang telah membuat petani, buruh tani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan anak-anak di desa dan kota hidup dalam situasi yang semakin buruk.

Ini semua bisa terjadi karena adanya reaksi dan manifestasi praktik-praktik perampasan tanah yang difasilitasi oleh hukum, yang disetir oleh modal yang tak lain adalah para oligarki. Aksi perusahaan oligarki di tengah resesi ekonomi ini memperlihatkan bagaimana rakus dan serakahnya bisnis-bisnis raksasa yang bersifat “lapar tanah” menggunakan momentum krisis untuk mengakumulasi kekayaannya, mengukuhkan klaim-klaimnya dan memperluas penguasaan tanahnya.

Malang sekali nasib rakyat negeri ini yang menjadi korban konflik agraria dan kekerasan, mereka tidak hanya terancam krisis kesehatan, ekonomi dan pangan akibat pandemi, namun juga harus berjibaku mempertahankan kampung dan sumber kehidupannya bahkan harus bertaruh nyawa untuk mempertahankan haknya atas tanah.

Kezholiman yang dipertontonkan tanpa belas kasih saat ini bukanlah prilaku oknum, teknis ekonomi dan birokrasi semata, tapi semua ini buah atau hasil dari penerapan sistem ekonomi kapitalistik yang menuhankan materi atau kapital semata.

Selama sistem rusak ini masih menjadi pilihan negeri ini dalam mengelola negeri, maka dapat dipastikan kerakusan akan tanah sebagai sumber daya alam yang sejatinya adalah milik umat akan terus terjadi.

Hanya pilihan ideologis dengan pergantian sistem tata kelola negara sajalah yang dapat menghentikan dan menyudahi kerakusan para oligarki dan mengembalikan hak umat atas tanah sebagai wasilah untuk melanjutkan kehidupan yang adil, beradab dan bermartabat.

Cukuplah peringatan Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.[]