
Ulasan Utama Assalim.id | Edisi 82
Oleh: Pujo Nugroho
Assalim.id – Pemerintah telah menetapkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 1,09 persen. Kenaikan UMP yang terbilang sangat kecil. Jika kita lihat di balik angka 1,09 persen ini nampak tidak ada niat dan sekadar “berbeda dengan UMP tahun sebelumnya”.
Kaum buruh dan banyak kalangan lainnya sebenarnya berharap UMP bisa memperbaiki nasib buruh yang sudah babak belur karena dihajar pandemi. Sayang harapan tinggal harapan besaran UMP tahun 2022 sudah diketok.
Pemerintah sendiri berlindung di balik regulasi yang ada. Berdalih bahwa penetapan sudah sesuai dengan peraturan. Dari sinipun kita tahu bahwa aturan cenderung sebagai legal formal tameng penguasa.
Untuk diketahui, penetapan UMP tahun 2022 mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. PP tersebut merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (omnibus law).
Jika diperhatikan kisruh penetapan UMP yang seolah berulang tanpa akhir ini karena melibatkan perhitungan beban biaya hidup, inflasi, dan sebagainya. Bukan semata persoalan upah atas pekerjaan yang dilakukan.
Upah ditetapkan berdasarkan formulasi dari kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Misalnya pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada provinsi dan kabupaten/kota.
Mengapa variabel-variabel seperti ini masuk dalam penetapan upah? Jawabnya adalah buruh memperjuangkan nasib hidup diri dan keluarganya. Buruh memperjuangkan kondisi ekonominya.
Kapitalisme yang saat ini berlaku membuat ketimpangan dan jurang ekonomi makin melebar. Kesejahteraan makin sulit digapai oleh kalangan ekonomi lemah yakni kaum buruh. Beberapa penelitian membuktikan hal ini. Wajar jika buruh memperjuangkan nasibnya.
Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Dompet Dhuafa Siti Nur Rosifah mengatakan mencapai kesejahteraan dari kemiskinan sangatlah sulit. Pernyataan itu Siti sampaikan dalam diskusi publik tentang kemiskinan di Indonesia yang digelar IDEAS bertajuk Ilusi Mobilitas Ekonomi, Selasa (14/1/2020).
Menurut survey Indonesia Family Life Survey (IFLS) dalam rentang 21 tahun (1993-2014), ditemukan bukti empiris bahwa kelompok kaya jauh lebih mampu mempertahankan kesejahteraan dibanding kemampuan mobilitas vertikal si miskin (ideas.or.id, 14/1/2020).
Karena itu polarisasi kaya dan miskin semakin mengutub. Seperti data yang disampaikan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang menyatakan 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional (Tempo.co, 10/10/2019).
Ketika pandemi Covid-19 pun di tengah ekonomi rakyat secara luas makin terpuruk kelompok kaya ini tetap mampu meningkatkan kekayaannya.
Menurut Credit Suisse dan Financial Times, jumlah orang di Indonesia dengan kekayaan lebih dari 1 juta US Dollar atau jika dikonversikan menjadi Rp 14,49 miliar ada 172.000 orang. Jumlah itu bertambah 62,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya (Tribunnews.com, 14/6/2021).
Kapitalisme tidak mampu mendistribusikan kekayaan. Meski Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat besar. Kekayaan berputar dan hanya dimiliki kaum kaya. Celakanya jumlahnya segelintir saja. Dan terus tersedot ke sana.
Problem penetapan upah buruh tidaklah akan selesai dengan negosiasi-negosiasi. Problem kesejahteraan buruh lahir dari problem ideologis, yakni kapitalisme itu sendiri. Problem ini tak akan terpecahkan selama kapitalisme masih bercokol.
Kesejahteraan Buruh di Dalam Islam
Dalam Islam negara wajib menjamin kebutuhan dasar setiap warga negara. Tidak saja urusan pangan bahkan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan kepastian hukum dalam aqad ijarah (akad kerja). Islam yang mengharuskan kesetaraan baik pekerja dan pemberi kerja di depan hukum. Keduanya sama kedudukannya menurut hukum syara’ (hukum syariat). Keduanya adalah obyek yang harus dikenai hukum. Tak ada bedanya.
Dalam Islam penjamin kebutuhan dasar tersebut tidaklah selalu disediakan “tinggal ambil” kecuali untuk kalangan yang memang secara fisik dan penanggungan nasab tidak memungkinkan (sebatang kara).
Adapun mereka yang secara fisik masih mampu, penjaminan negara terhadap penghidupan mereka berbeda. Bentuknya melalui mekanisme penyediaan lapangan pekerjaan, lahan garapan yang mrnganggur, modal yang disediakan Baitul Mal (kas negara), pendidikan skill, dan kondisi usaha yang baik sehingga mampu memperjumpakan antara pemilik modal dan pekerja. Bahkan ketika semua sudah tersedia negara memaksa untuk bekerja memenuhi nafkah yang wajib ditanggungnya.
Bagaimanapun buruh/pekerja dan majikan/pemberi kerja sama. Mereka adalah warga negara. Memperlakukan buruh seperti warga kelas dua yang selalu dikalahkan karena negara mendahulukan kepentingan para pengusaha dan pemilik modal dengan dalih berjasa menyediakan lapangan kerja adalah sebuah kesalahan fatal.
Buruh adalah warga negara. Buruh adalah manusia yang menjadi aset negara. Secara hukum syara’ (syariat) mereka adalah obyek yang wajib diberlakukan hukum syara’ atasnya. Karenanya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan manusia lainnya.
Wahai kaum buruh, sistem yang berlaku saat ini sampai kapanpun tidak akan bisa membuat sejahtera. Sistem kapitalisme saat ini hanyalah sarana yang akan terus memperkaya para kapitalis. Ketahuilah hanya Islam yang mensejahterakan secara merata dan adil. Tidak ada yang dirugikan satu sama lain, baik buruh maupun pengusaha. Wallahua’lam. []