
Aliansi Pengusaha Muslim – Dalam sistem neo-kapitalisme abad ini, pembangunan ekonomi suatu negara merupakan suatu yang penting untuk terselenggaranya proses pembangunan di segala bidang. Karena jika pembangunan ekonomi suatu bangsa berhasil, maka bidang-bidang lain seperti bidang hukum, politik, pertanian, dan lain-lain akan sangat terbantu.
Dan salah satu pilarnya adalah sektor industri, karena sektor industri diyakini memiliki keunggulan dalam hal akselerasi pembangunan. Keunggulan-keunggulan sektor industri tersebut diantaranya adalah memberikan kontribusi bagi penyerapan tenaga kerja dan mampu menciptakan nilai tambah (value added) yang lebih tinggi pada berbagai komoditas yang dihasilkan.
Bahkan di era Industri 4.0 saat ini, peranan sektor industri lebih dominan dibandingkan dengan sektor pertanian. Sektor industri memegang peran kunci sebagai mesin pembangunan karena sektor industri memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sektor lain karena nilai kapitalisasi modal yang tertanam sangat besar, kemampuan menyerap tenaga kerja yang besar, juga kemampuan menciptakan nilai tambah (value added creation) dari setiap input atau bahan dasar yang diolah.
Dengan konstruksi pembangunan industri yang demikian, maka wajar saat pamdemi global mendera, sektor industri paling pertama mengalami dampaknya. Terutama industri yang bergerak dalam produksi logam, kabel, peralatan listrik, semen, kaca, keramik, elektronik dan peralatan komunikasi, alat berat, mesin, tekstil, karet, otomotif, kereta api, pesawat terbang, dan lain sebagainya.
Ini terkonfirmasi saat Wakil Ketua Umum Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Ismail Mandry mengungkapkan fakta penurunan kapasitas sekitar 50-40 persen, sehingga langkah pengurangan karyawan oleh sejumlah perusahaan pun harus dilakukan. Bahkan dia memprediksi paling tidak hanya sampai Juni ketahanan perusahaan akan dipertaruhkan.
Di sektor industri tekstil gelombang PHK-pun terus bertambah, bahkan ada pabrik yang sudah gulung tikar. Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang sempat mengatakan pandemi kali ini telah membuat 1,5 juta karyawan perusahaan tekstil harus kehilangan pekerjaan, di-PHK atau dirumahkan.
Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil mengatakan bahwa angka tersebut akan terus bertambah. Bahkan menurut Rizal Tanzil, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) pihak asosiasi telah mendata angka PHK dan dirumahkan mencapai 1,8 juta orang dan akan terus bertambah (cnbcindonesia.com, 08/05).
Realitas di atas, adalah bukti betapa rapuhnya indsutri dalam iklim kapitalis yang sejak awal para pelakunya mengadopsi “paham rusak kapitalis” dalam membangun industri atau usahanya, ada basis kesalahan mendasar yang umum dipahami oleh pelaku industri, pertama bisnis/industinya hanya berorientasi pada profit semata (untung rugi), kedua tersanderanya mereka dalam instrument perbankan ribawi.
Implikasi dari hal tersebut akan berlanjut ke hubungan industri dan pekerja yang hanya berdasarkan azas manfaat semata tidak lebih. Sehingga mudah untuk “dikorbankan” dengan alasan efisensi, efektivitas, dan proteksi profit. Instumetment ribawinya dalam membangun industrinyapun berdampak langsung pada besarnya inflasi.
Secara global iklim ekonomi seperti ini sangat rawan terhadap gonjang-ganjing krisis dan resesi. Hal ini pernah dikritisi oleh Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money from Ancient time to Present Day, yang menguraikan sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara menyeluruh dan terus berlanjut.
Hal ini berbeda dalam tata kelola ekonomi dalam Islam yang menjadikan aktivitas ekonomi dan industri sebagai bagian dari aktivitas amal yang terikat dengan Al-quran dan hadits. Sehingga trasaksi perbankan yang berbasis ribawi tidak diperkenankan, bunga (riba) secara tegas telah diharamkan (QS. Al-Baqarah [2]: 275-279) kerena menjadi sumber fasad (kerusakan) sistemik dan kacaunya distribusi harta.
Dan sebagai gantinya, Islam memberikan solusi yang shohih, yakni segala bentuk pembiayaan akan dilakukan secara langsung oleh para investor kepada para individu yang membutuhkan modal, melalui mekanisme kerja sama bisnis (syirkah) yang bebas riba. Sehingga, inflasi tidak akan terjadi dan aktivitas industri akan bertumpu pada sektor perdagangan dan jasa yang bersifat riil dengan menyesuikan antara permintaan dan ketersediaan, bukan berbasis spekulasi dan sentiment ribawi seperti saa ini. [] Agan Salim