Kapitalis ‘Merajalela’ Di Tengah Covid-19, Islam Solusinya!
Oleh : Haris Abu Muthiah.
Aliansi Pengusaha Muslim – Virus Corona (Covid-19) nyata adanya. Secara global jumlah kasus yang terkonfirmasi di 29 negara mencapai kurang lebih 45 juta orang, meninggal 1,1 juta orang. Di Indonesia angka positif sudah mencapai 410 ribu orang, sembuh 337 ribu orang, meninggal 13 ribu orang (covid19.go.id, 31/10/2020). Diduga virus Covid-19 menjadi bisnis empuk para kapitalis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Hal ini diakui guru besar Universitas Indonesia, Ronnie H. Rusli, melalui akun Twitternya @Ronnie_Rusli seperti dikutip pikiran rakyat berkas.com (26/20), menyebutkan bahwa pengadaan vaksin merupakan bisnis besar para Taipan yang menggelontorkan uangnya untuk impor. Bukan uang dari anggaran Kemenkes, karena Kemenkes bukan importir obat/vaksin. Jadi para importir itulah yang pakai tangan pemerintah untuk wajib vaksinasi.
Vaksin Tiongkok yang berasal dari Sinovac, yang tengah dipersiapkan pemerintah Indonesia untuk 160 juta penduduk, melibatkan pihak swasta, Kalbe Farma, Bio Farma, dan Sanbe Farma, dalam produksinya, harus diakui sebagai potensi bisnis yang cukup menggiurkan. Mulai dari pengadaan jarum suntik, pengadaan vaksin hingga sistem rantai dingin atawa cold chain. (kontan.co.id, 12/10/2020).
Pemerintah sendiri melalui Ketua Pelaksana Penanganan Virus Corona dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Erick Thohir memperkirakan pemerintah membutuhkan dana hingga US$ 4,5 miliar atau Rp 66 triliun untuk menyuntikkan vaksin kepada 160 hingga 190 juta penduduk Indonesia (Katadata.co.id, 7/8/2020). Lalu apakah vaksin itu gratis untuk rakyat Indonesia?, ternyata tidak!.
Menurut Erick Thohir hanya 93 juta orang akan menerima vaksin Covid-19 dari pemerintah, gratis. Artinya, jika 190 juta vaksin yang disiapkan berarti ada 97 juta penduduk Indonesia harus membayar vaksin tersebut. jika Rp400 ribu untuk dua kali suntikan maka negara meraup uang dari rakyatnya Rp38,8 triliun.
Fasilitas kesehatan pemerintah kepada rakyatnya sejak awal terjadinya Covid-19 sudah terjadi kesenjangan, tidak ada yang gratis. Lihatlah penanganan rapid test, hanya diberikan gratis kepada kalangan masyarakat tertentu saja, terutama masyarakat yang dianggap kurang mampu. Padahal ketika Covid-19 melanda negara ini semua masyarakat terpaksa harus tinggal dirumah. Semua kegiatan dikendalikan dari rumah?.
Akibat Covid-19 Pendapatan masyarakat menjadi sulit. Omset pengusaha turun drastis. Pengangguran dan orang-orang miskin bertambah. Lalu siapa yang mengambil keuntungan di balik semua ini?. jawabnya, yang utama pasti pengusaha. Kendati demikian pengusaha tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan penuh dari negara. Inilah yang disebut neoliberalisme, dimana pengusaha dan penguasa berkolaborasi ‘meraup’ uang rakyat untuk kepentingan ppengusaha. Lihatlah sepak terjang perusahaan-perusahaan kapitalis di Amerika yang meraup keuntungan besar di balik Covid-19.
Perusahan modern misalnya, sahamnya meningkat 42% ketika mereka mengumumkan pengiriman vaksin ekeperimental melawan virus corona ke National Institute of Allergy and Infectious Diseases di Amerika Serikat untuk uji coba klinis terhadap manusia.
Karena itu patut diduga kalau isu Covid-19 dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk memperkuat bisnisnya. Boleh jadi Covid-19 ini tidaklah separah bila dibandingkan dengan awal kemunculannya. Buktinya, pemerintah dan KPU tetap ngotot menggelar pesta demokrasi pemilihan kepala daerah dibeberapa provinsi, padahal sudah ditolak oleh dua ormas besar, yakni NU dan Muhammadiyah.
Mengapa pengusaha dan penguasa bisa berkolaborasi?. Penyebabnya karena sistem yang diadopsi oleh negara untuk mengatur sistem kesehatan adalah kapitalisme. Dalam sistem ini yang memiliki peranan besar adalah para pemilik modal, merekalah yang memberi pengaruh lahirnya UU dan kebijakan yang akan diberlakukan kepada rakyatnya. Maka wajarlah jika kepentingan merelah yang harus didahulukan. Negara hanya menfasilitasi dan mengeksekusi keinginan pengusaha.
Mengapa kapitalisme begitu kuat?, selain dikendalikan oleh negara juga belum ada sistem lain yang mampu melawannya. Saat ini kapitalisme menjadi pemain utama. Adapun Islam hanya dianggap sebagai agama ruhiyah saja tidak boleh terlibat mengatur urusan kehidupan manusia. Tidak boleh mengatur urusan ekonomi, tidak boleh mengatur urusan kesehatan.
Disinilah akar masalahnya, yakni agama terpisah dengan sistem kehidupan (sekularisme). Padahal Islam bukan hanya mengatur urusan individu saja tapi memiliki seperangkap aturan yang lengkap bagaimana mengatur interaksi antara satu manusia dengan manusia lain, seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, keamanan, sosial, budaya, dan lain-lain sebagainya. Semua aturannya berasal dari Maha adil, yakni Allah Swt.
Dalam pengelolaan kesehatan misalnya, Islam memandang kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Dimana mekanisme pemenuhannya adalah langsung dipenuhi oleh negara. Karena negara dalam Islam adalah sebagai pengatur urusan rakyat, dan penguasa sebagai pelaksana negara akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT atas pelaksanaan pengaturan ini.
Rasul SAW bersabda, “Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al –Bukhari dari Abdullah bin Umar ra.)”
Karena itu negara tidak boleh menyerahkan kepada swasta ataupun asing mengatur dan mengelola sarana-prasarana kesehatan. Negara bertanggungjawab menggratiskan seluruh fasilitas kesehatan yang dibutuhkan oleh seluruh rakyatnya baik miskin maupun kaya tanpa ada kesenjangan sedikit pun. Negara tidak boleh meminta se sepeserpun uang sebagai iuran kesehatan dari rakyatnya.
Lalu darimana negara memperoleh anggaran?. Disinilah politik ekonomi penguasa dijalankan, yakni, negara mengoptimalkan kekayaan alam yang dimiliki untuk dikelola oleh negara sehingga hasilnya bisa dirasakan oleh rakyat salah satunya untuk pembiayaan kesehatan.
Negara berkewajiban menyiapkan rumah sakit, klinik, obat-obatan dan kebutuhan-kebutuhan kesehatan lainnya yang diperlukan oleh kaum Muslim dalam terapi pengobatan dan berobat. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pun (dalam kedudukan beliau sebagai kepala Negara) pernah mendatangkan dokter untuk mengobati salah seorang warganya, yakni Ubay. Saat Nabi SAW. Mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya.
Jelaslah bahwa dengan sistem Islam permasalahan kesehatan di negeri ini akan diselesaikan. Dengan Islam, Indonesia sebagai negara kaya akan sumber daya alamnya pasti mampu memberikan pelayanan kesehatan dengan optimal dan bahkan gratis asalkan dengan catatan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia harus betul-betul dikelola oleh negara dan tidak diserahkan kepada pihak swasta.
Wallahu a’lam bi ash shawab