Kaleidoskop Tahun 2021: Saudi Makin Tenggelam Dalam Leisure Economy Yang Hedonis
Oleh: Pujo Nugroho
Assalim.id – Sepanjang tahun 2021 kita menyaksikan Arab Saudi makin bebas dalam dunia hiburan. Berbagai acara hiburan digelar sepanjang tahun 2021.
Paling akhir adalah hiburan tahun baru 2022. Mundur ke belakang adalah kebebasan perayaan Natal secara terbuka. Kafe dan restoran menyediakan reservasi perayaan Natal tersebut. Kebebasan ini sebagai konsekuensi makin banyaknya turis asing yang datang ke Saudi.
Pada Oktober 2021 digelar konser musik Riyadh Seasion. Konser ini menghadirkan rapper Pitbull dan mampu menyedot pengunjung dengan angka fantastis 250.000 orang.
Paling mengejutkan lagi gelaran musik 4 hari non-stop dari tanggal 16-19 Desember 2021. Konser yang bertajuk MLDBeast Soundstorm ini
hanya jeda di kala waktu azan shalat tiba. Pengunjung meledak dengan jumlah begitu fantastis, yaitu 700.000 orang.
Konser-konser musik di atas hanya sebagian dari sekian banyak konser musik yang ada dengan berbagai artis papan atas internasional yang datang.
Selain musik, Saudi juga membuka kebebasan hiburan lainnya. Salah satunya adalah pantai bebas berbikini. Pantai yang bernama Pure Beach ini dibuka pada akhir Agustus 2021.
Tentu berbagai kebebasan di atas tidak datang tiba-tiba. Beberapa kebebasan berbau hiburan sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya.
Pada September 2017, Kerajaan Arab Saudi menerbitkan dekrit di mana kaum perempuan diperbolehkan menyetir sendirian tanpa harus disertai wali. Di kesempatan yang lain perempuan juga diperbolehkan melakukan perjalan juga tanpa wali.
Perempuan Saudi juga diperbolehkan datang ke stadion menonton olahraga. Hal yang sebelumnya dilarang.
Pada tahun 2018 perempuan tidak lagi diwajibkan menggunakan abaya dan hijab ketika keluar rumah. Hal ini seperti yang dinyatakan Putra Mahkota Saudi sat itu Mohammed bin Salman.
“Keputusan sepenuhnya diserahkan kepada wanita untuk memutuskan jenis pakaian apa yang layak dan sopan yang dia pilih untuk dipakai,” ujarnya dalam wawancara dengan saluran televisi CBS, Ahad (18/3/2018).
Bahkan pada tahun 2019 Saudi mengizinkan wisatawan yang tidak/belum menikah boleh menginap bersama di hotel.
Kebebasan di atas adalah bagian dari kebijakan Arab Saudi yang berubah dalam memandang ekonomi dalam negerinya. Pada April 2016 Pangeran Salman mengumumkan tentang rencana baru dan perubahan ekonominya. Saat itu diluncurkan program Saudi Vision 2030. Sebuah rencana jangka panjang, 15 tahun, melibatkan 80 proyek lebih. Tujuannya adalah mengurangi ketergantungan terhadap minyak, diversifikasi ekonomi, serta mengembangkan sektor pelayanan publik semisal kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, dan pariwisata.
Salah satu sektor yang kemudian akan dimaksimalkan oleh Arab Saudi adalah industri hiburan dan pariwisata. Pangeran Salman menyebut sektor ini sebagai andalan ketiga. Dalam wawancara dengan Al Arabiya, ia menyebut bahwa industri pariwisata dan hiburan bernilai amat besar. Para warga Arab Saudi menghabiskan 22 miliar dolar dalam setahun untuk industri itu. Angka itu dihabiskan warga Arab Saudi di luar negeri. Inilah yang coba ditangkap oleh pemerintah Saudi. Perputaran uang dunia hiburan tetap dibelanjakan di dalam negeri.
Untuk mewujudkan visi tersebut Saudi tak segan menggelontorkan dana sangat besar. Dalam konferensi pers yang megah di Riyadh, Kamis (22/02/2018), Kepala Otoritas Hiburan Umum, Ahmad bin Aqeel al-Khatib, menjelaskan kepada para wartawan rencana investasi US$ 64 miliar atau Rp 875 triliun untuk sektor hiburan dalam satu dekade ke depan.
Sektor bisnis di atas dikenal sebagai Leisure Economy. Leisure economy berasal dari kata “leisure” yang berarti “waktu luang atau hiburan”.
Melihat leisure economy yang cenderung bebas di atas bisa disebut Arab Saudi telah terjebak pada leisure economy yang hedonis. Hedonisme adalah sebuah pandangan yang menganggap bahwa manusia akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin. Kebebasan ini sebenarnya hanya ada pada masyarakat sekuler. Masyarakat yang tidak menjadikan agama sebagai pegangan kehidupannya.
Sebagai catatan, hiburan bukan berarti dilarang secara mutlak dalam pandangan Islam. Namun hiburan yang di dalamnya terjadi pelanggaran syariat adalah hiburan yang dilarang.
Problem leisure economy Arab Saudi setidaknya bermasalah pada empat hal. Pertama, hiburan hedonis nan sekuler yang makin marak. Kedua, problem ekonomi Arab Saudi yang menurut mereka akan terbantu dengan sektor hiburan. Ketiga, paham liberalisasi dan moderat yang menjadi agenda kerajaan Arab Saudi. Keempat, persaingan negara Timur Tengah dalam industri hiburan. Dan Arab Saudi tidak ingin ketinggalan dalam persaingan tersebut.
Sebuah negara memang membutuhkan pendanaan dalam menjalankan roda pemerintahan dan memenuhi berbagai kebutuhannya. Islampun memandang demikian. Namun memenuhi keuangan negara melalui ekonomi yang bertentangan dengan syariat tentu tidak diperbolehkan.
Sejatinya Arab Saudi adalah produsen minyak dunia terbesar. Posisinya menempati urutan kedua dengan cadangan minyak sebesar 297,53 miliar barel (17,17%) (databoks.katadata.co.id, 10/11/2021).
Mestinya ekonomi bukanlah masalah bagi Saudi. Toh misalnya dicari masalahnya adalah distribusi kesejahteraan di Arab Saudi.
Adapun problem Saudi sebenarnya adalah ketergantungan secara politik kepada Barat. Arab Saudi tidak lebih menjadi permainan oleh Barat dengan berbagai problem keamanan dan politik di Timur Tengah yang dihadirkan Barat.
Selain itu juga kita bisa melihat problem lain, yakni agenda moderasi beragama yanh nampaknya menjalar keseluruh negeri kaum muslimin seperti halnya yang terjadi di Indonesia.
Bagaimanapun perubahan-perubahan yang terjadi di Arab Saudi saat ini menjadi kegundahan kaum muslimin. Arab Saudi merupakan negara di mana dua kota suci umat Islam (Makkah dan Madinah) berada. Tempat di mana Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wassalam dilahirkan dan Islam datang yang kemudian memimpin dunia.
Terlihat jelas negeri yang kekayaan minyaknya luar biasa sekaligus pusat sejarah dan peradaban Islam pada awal dilahirkan menjadi bebas dan banyak masalah.
Kekayaan alamnya tidak mampu dimanfaatkan untuk kebangkitan Islam sekaligus untuk menjadi pemimpin dunia. Seperti di sejarahnya dulu. Sebaliknya budaya hedonis Barat tumbuh subur yang sebenarnya sebuah kejahiliahan. Wallahua’lam.[]