Kaleidoskop Pandemi, Sistem Ekonomi & Politik Semakin Paradoks

Last Updated: 30 Desember 2021By

Edisi Spesial Akhir Tahun 2021
Oleh: Agan Salim

Assalim.id – Lelah dan jengah, itulah sikap yang pas dilekatkan pada tutup tahun ini, hal ini ditandai dengan semakin paradoksnya sistem tata kelola ekonomi dan politik yang terus dipertontonkan.

Dari dulu hingga sekarang, negara tercinta kita ini tak pernah berhasil keluar dari masa transisi yang tak berkesudahan. Pintu kerusakan satu tertutup, terbukalah pintu kerusakan yang lain. Kalau ditelisik lebih dalam faktor utamanya ialah peran para pemilik modal berwujud oligarki yang terus bercokol dan mendikte di setiap era pemerintahan. 

Oligarki ibarat air yang mengikuti wadah, bertransformasi ke berbagai bentuk, mengikuti zaman, selalu berposisi aman menaklukan sistem yang sedang berjalan dan memang sengaja sistem ini  tidak pernah ingin dirubah (status quo).

Sehingga fungsi negara yang seharusnya berperan sebagai malaikat pelindung, penjaga hak-hak dasar rakyat, serta mengupayakan kesejahteraan. Namun realitas yang terjadi, negara seakan lupa dan seringkali abai terhadap peran yang wajib dia emban. Bahkan nyatanya pemerintah seringkali menimbulkan kebijakan yang membuat riuh publik karena tidak berorientasi pada kebaikan rakyat. Kesejahteraan yang jadi tujuan mulia negarapun hanya berdampak pada segelintir pihak.

Lihat saja bagaimana mitigasi pandemi tahun 2020, bulan Februari saat pandemi Covid-19 merebak, pemerintah dengan sangat cekatan menyuntikan anggaran Rp 405,1 triliun guna tangani Covid-19. Dana tersebut dialokasikan untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (Rp 70,1 triliun), kesehatan (Rp 75 triliun), perlindungan sosial (Rp 110 triliun), dan program pemulihan ekonomi (Rp 150 triliun).

Bahkan beberapa bulan kemudian, tepatnya bulan Juni 2020 pemerintah menambah anggaran penanganan Covid-19 menjadi Rp 695,2 triliun di mana sebagian besar untuk stimulus ekonomi, sementara anggaran kesehatan yang sangat dibutuhkan rakyat hanya dianggarkan Rp 97,26 triliun. Jadi adalah hal yang wajar jika kebijakan ini banyak dikritik oleh para pengamat sebagai stimulus untuk para oligarki.

Belum lagi kebijakan stimulus jumbo berupa suntikan dana untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp 152 triliun yang terus merugi jauh sebelum pandemi yang akhirnya jadi alibi penyelamatan saat pandemi, padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa BUMN selama ini menjadi lahan basah banjakan kejahatan korupsi.

Masih belum hilang diingatan rakyat bagaimana skandal mega korupsi BUMN seperti Jiwasraya yang mengakibatkan negara merugi hingga Rp 13,7 triliun, dan tak lama disusul korupsi Asabri sebesar Rp 22,78 triliun berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dugaan tentang kebijakan yang sangat pro-oligarki inipun terkonfirmasi dari makin besarnya jurang ketimpangan antara yang kaya dan miskin yang dapat dilihat dari data lembaga keuangan Credit Suisse yang bertajuk Global Wealth Databook 2021 yang menyebutkan jumlah orang kaya di Indonesia melonjak 61,69% pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya.

Temuan tersebut sejalan dengan temua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mencatat kekayaan pejabat atau penyelenggara negara mengalami kenaikan selama pandemi Covid-19. Kenaikan harta para pejabat itu diketahui setelah KPK melakukan analisa terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) selama setahun terakhir di mana jumlah pejabat negara yang hartanya mengalami kenaikan mencapai 70,3 persen (tirto.id 13/08/2021).

Setali tiga uang dengan realitas ekonomi, di ranah politikpun demikian paradoks, di saat kondisi ekonomi rakyat yang banyak terdampak pandemi dalam waktu yang panjang dan perlu untuk dipulihkan untuk meminimalisasi dampak yang lebih parah.

Para politisi malah sibuk dengan isu suksesi 2024 dan skenario masa jabatan presiden tiga periode yang akan dilakukan lewat amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini menurut pengamat politik Hendri Satrio, “Semua ini hanya keinginan sekelompok orang yang sedang menikmati dan ingin memperpanjang kenikmatan ini dengan menjadi pengkhianat reformasi,” (katadata.co.id, 23/6/2021).

Kritikan keras juga disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti meminta kepada seluruh politikus jangan sampai menjadi biang masalah (trouble maker) dan predator bagi di tengah kesulitan rakyat Indonesia. (CNNIndonesia, 23/8/2021).

Inilah realitas bagaimana paradoksnya sistem kapitalisme sekuler dengan sistem ekonomi dan politik demokrasinya. Parpol dan politisi yang seharusnya merupakan dua aktor dengan peran dan fungsi strategis yang merupakan aktor terdepan dalam berjuang untuk mewujudkan berbagai cita-cita politik keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Justru sebaliknya, menjadi biang masalah dan predator tergerusnya keadilan dan menjauhnya kesejahteraan ke mayoritas rakyat.

Inilah wujud sistem gagal kapitalisme sekuler lewat demokrasinya yang telah tersandera oleh oligarki yanag tidak akan mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Bagi mereka yang teliti dan peduli dengan nasib negeri ini, maka sangat mudah menarik  benang merah dari paradoks yang terjadi  yang semuanya berawal dari dikesampingkannya aturan agama/pencipta dalam tata kelola kehidupan bernegara. Akibatnya sistem gagal  kapitalisme sekuler lewat demokrasinya dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. 

Seperti ungkapan Ibnu Taimiyyah bahwa aturan Pencipta (agama) dan kekuasaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Aturan agama/syariat tidak akan bisa tegak dan abadi tanpa ditunjang oleh kekuasaan, dan kekuasaan tidak bisa langgeng dan mencapai tujuan mulianya tanpa ditunjang dengan aturan agama/pencipta lewat penerapan syariat-Nya. []