
Oleh : Pujo Nugroho.
Aliansi Pengusaha Muslim – Presiden Joko Widodo akhirnya mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Dengan Perppu ini pemerintah menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN sebesar Rp405,1 triliun.
Alokasi penggunaan dana tersebut sebagai berikut:
Insentif bidang kesehatan sebesar Rp75 triliun.
Insentif perlindungan sosial sebesar Rp110 triliun.
Insentif perpajakan dan stimulus KUR sebesar Rp70,1 triliun.
Insentif pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp150 triliun.
Dari empat poin itu, insentif perpajakan dan program pemulihan ekonomi nasional besarannya mencapai Rp220,1 triliun, atau sekitar 54,3 persen dari total tambahan belanja. Porsi ini adalah porsi untuk pengusaha. Nilainya dua kali lipat dari porsi perlindungan sosial.
Sebelumnya juga pemerintah sudah menerbitkan stimulus I dan II berupa paket kebijakan ekonomi untuk dunia usaha. Menurut Sekretaris Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Susiwijono pemerintah sudah mengucurkan anggaran sebanyak Rp158,2 triliun. Pemerintah saat itu mengeluarkan stimulus ekonomi ke satu dengan fokus ke dalam sektor ekonomi yang menangani lalu lintas orang. Baik sektor pariwisata, akomodasi dan transportasi (liputan6.com, 26/3/2020). Pendeknya porsi dunia usaha selalu lebih besar dibanding porsi bantuan sosial rakyat kecil.
Pada Perppu No. 1 tahun 2020 ini pun tidak ada bantuan langsung tunai (BLT). Padahal BLT dibutuhkan agar pekerja informal yang kehilangan pendapatan bisa segera membelanjakan uang untuk kebutuhan dasar mereka.
Keputusan Jokowi berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan membuat pendapatan masyarakat menengah ke bawah terpukul karena geraknya dibatasi. Padahal sebelumnya sudah ada anjuran work from home dan stay at home yang sudah sangat memukul penghasilan rakyat kecil. Masyarakat kelas bawah terseok-seok tidak ada pendapatan.
Kritik lain atas kebijakan pada Perppu No. 1 Tahun 2020 ini adalah bantuan berupa kartu bukan uang tunai. Yang aneh lagi adalah kartu pekerja. Meski nilainya dinaikkan dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun akan tetapi bantuan sebagian berupa pelatihan-pelatihan. Celah carut-marut dan ketidak-efektifan secara teknis sangat terlihat.
Beginilah mekanisme bantuan dalam kapitalisme, sistem yang kita pakai sekarang. Bantuan untuk rakyat kecil porsinya minim. Pemerintah lebih mengutaman pengusaha yang notabene para pemilik modal alias kapitalis. Pemerintah lebih mengandalkan mekanisme ekonomi yang dijalankan para kapitalis. Nasib ekonomi di tangan kapitalis. Padahal pemenuhan kebutuhan dasar warga negara harus menjadi prioritas utama. Di situlah negara harus hadir.
Melalui mekanisme ini pula jurang antara rakyat menengah ke bawah dengan para kapitalis akan terus melebar. Wallahua’lam