“Jangan Terkecoh”, Oligarki Itu Anak Kandung Kapitalisme
Ulasan Utama Assalim.id | Edisi 85
Oleh: Agan Salim
Assalim.id – Menarik saat kita menilik hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarah Anderson dan John Cavanagh di tahun 2000 yang berjudul “The Rise of Corporate Global Power” dimana dari 100 entitas ekonomi terbesar di dunia, 51 adalah perusahaan dan 49 adalah negara. Karena fakta tersebut, selain menjadi bukti nyata relasi kekuasaan negara yang kian tergerus disatu sisi dan meningkatnya pengaruh perusahaan multinasional/oligarki yang menggurita disisi lain.
Yang lebih memprihatinkan, fakta mengguritanya oligarki dunia ini kian hari kian besar bahkan tumbuh subur bak jamur di musim hujan di sistem kapitalisme berwajah demokrasi yang diadopsi oleh mayoritas negara di dunia saat.
Bahkan relasi demokrasi sebagai kendaraan oligarki untuk menguasai aset strategis sebuah negara saat ini sedang terjadi.
Realitas sepak terjang oligarki yang kian menggurita inipun menjadi keprihatinan banyak ilmuwan, pakar dan pengamat dunia karena memicu konflik sosial di banyak negara seperti masalah degradasi lingkungan hidup, penggundulan hutan (deforestasi), perebutan sumber daya alam mineral, kemiskinan, hingga terciptanya oligarki yang menguasai simpul kebijakan negara.
Prof Dr Beatriz Lucia Salvador Bizotto dari Universitas Unifacvest Brazil memaparkan dalam sebuah webinar bahwa saat ini deforestasi dan kerusakan lingkungan hidup juga telah terjadi di negara, kondisi ini mengganggu ekosistem lingkungan hingga memicu lahirnya oligarki yang menguasai sumber hajat orang banyak. Bahkan, memicu kesenjangan antara yang kaya dan miskin hingga korupsi merajalela.
Dampak persoalan kebijakan ekonomi makropun terjadi seperti keseimbangan moneter dan utang luar negeri, kebijakan ketahanan pangan dan pengentasan miskin yang alih-alih reda malah terus membesar dan sistemik.
Keprihatinan banyak pakarpun akan kondisi tersebut seperti tanpa solusi berarti saat para oligarki telah menguasai jagad elektoral lewat pemilu dan partai dengan sistem politik demokrasi. Inilah wujud nyata bagaimana cerminan kegagalan banyak negara untuk mengontrol para oligarki termasuk di negeri ini.
Saat ini konsentrasikan kekuasaan negara sejatinya ada ditangan para oligarki, sebagai contoh nyata bisa dilihat dari keputusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Jika kita runut dari proses amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999 hingga 2002. Ambang batas ini terus naik. Pemilu 2004 mensyaratkan perolehan 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah. Kemudian pada Pemilu 2009, syaratnya naik menjadi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah, dan angka tersebut dipakai hingga saat ini.
Pakar Hukum Tata Negara Dr Zainal Arifin Mochtar meyakini penetapan ambang batas pencalonan presiden adalah upaya pemusatan kekuasaan.
“Saya termasuk yang menduga, bahwa presidential threshold ini berkaitan dengan upaya untuk mengonsentrasikan kekuasaan pada pihak-pihak tertentu. Dan saya menduga, ini sebenarnya bagian dari permainan oligarki. Tidak bisa ditolak,” ujarnya (voaindonesia.com. 7/7/2021).
Oligarki sebagai kelompok pemilik modal yang memiiki tujuan utama mempertahankan akumulasi kekayaan. Kelompok ini tidak peduli siapa yang menjadi presiden sepanjang bisa bekerja sama dengan mereka untuk tujuan itu. Cengkramannyapun kita sempurna saat partai politik dibuat tunduk dalam gengaman mereka, apalagi koalisi partai saat ini tidak berdasar ideologi, tetapi tujuan politik yang pragmatis oportunis.
Sudah saatnya dan sekaranglah waktunya umat ini sadar dan merindukan datangnya sistem kepemimpinan Islam, karena sistem sekuler kapitalisme berjubah demokrasi ini telah gagal mensejahterakan dan terus-menerus memproduksi kerusakan-kerusakan di semua lini kehidupan saat ini .[]