“Jahatnya” Uu Cipta Kerja, Ibarat Buah Busuk Yang Tetap Harus Dimakan
Ulasan Utama Assalim.id | Edisi 82
Oleh: Agan Salim
Assalim.id – Kesalahan fatal Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang di usulkan oleh pemerintah dan dilegeslasi secara “ugal-ugalan” oleh DPR-pun akhirnya terkuak. Pada tanggal 25 Nopember 2021, dalam sidang putusan judicial review UU Cpta Kerja, Majelis Hakim MK menyatakan, penyusunan UU Cipta Kerja cacat formil karena mengabaikan prosedur ideal penyusunan UU. MK pun menitahkan pemerintah dan DPR segera memperbaikinya dalam waktu dua tahun usai putusan ini.
Banyak pakar hukum tata negara melihat banyak kejanggalan dalam pasal UU Cipta Kerja dan berpendapat bahwa undang-undang ini “tidak bisa diterapkan”, namun pemerintah bersikukuh bahwa kesalahan itu hanya bersifat teknis-administratif dan tidak mempengaruhi implementasi undang-undang.
UU Cipta Kerja sejatinya adalah omnibus law. Istilah omnibys law ini diambil dari Bus Omni, bus besar yang muncul di Paris, Prancis tahun 1890. Disebut omni, karena bus besar yang ditarik kuda ini bisa memuat apa saja seperti orang, meja, kursi, senjata, hewan, gandum, apa saja, termasuk sampah. UU Omnibus Law adalah undang-undang yang mengangkut banyak perkara.
Menurut pemerintah, alasan terpenting UU Cipta Kerja alias omnibus law ini adalah untuk mempermudah izin bisnis dan investasi yang pada gilirannya diharapkan membawa kesejahteraan rakyat.
Alasan tersebut sungguh bertolak belakang dengan realitas yang sebenarnya, terkait kemudahan izin bisnis misalnya. Dalam indeks “kemudahan berbisnis” (easy of doing business) yang dikeluarkan World Bank, Indonesia ada di peringkat ke-73 dibandingkan dengan 120-an negara lain di dunia. Bahkan dalam kategori negeri berpendapatan menengah-bawah (lower middle-income), Indonesia ada di papan atas peringkat ke-7 dalam kemudahan berbisnis di atas 40 negara lain dalam kategori itu.
Apalagi dengan alasan untuk mensejahterakan, sungguh jauh panggang dari api. Merujuk kesejahteraan yang diukur lewat indeks pembangunan manusia (HDI-human development index) yang dikeluarkan UNDP, badan dunia di bawah naungan PBB. Meski kemudahan investasi negeri ini ada di papan atas, namun HDI Indonesia ada di papan bawah, peringkat ke-116 di bawah Srilanka, yang mana memiliki kemudahan bisnis jauh lebih buruk.
Bahkan HDI Indonesia lebih rendah dari “negara gagal” Venezuela, yang kemudahan investasinya terburuk di dunia nomor 2 dari bawah. Artinya tidak ada korelasi antara kemudahan berinvestasi dengan kesejahteraan rakyat.
Justru dampak yang terjadi saat ini sangat memprihatinkan, kemudahaan bisnis/investasi mengorbankan kualitas kesehatan, pendidikan, kelestarian lingkungan. Alam menjadi rusak akibat kemudahan investasi dan ancaman bencana alampun semakin nyata seperti longsor, banjir, kekeringan yang terus menerus menerjang negeri ini tanpa henti.
Kalau menelaah lebih jauh bagaimana produk undang-undang rusak ini muncul sesungguhnya adalah buah dari sistem demokrasi ekonomi yang dianut negeri ini dimana paradigma fundamentalisme pasar yang bermazhab ekonomi neo-klasik pemikiran Adam Smith dan David Ricardo. Di mana paradigma fundamentalis negara yang mengabdi pada kepentingan pasar atau kepentingan bisnis. Dengan kata lain, apa yang baik untuk para pemilik kapital besar maka baik juga buat negara.
Konsekwensinya turunannya dapat kita lihat saat ini dalam keseharian dimana praktek politik, hukum, sosial, militer dan kebudayaan telah jatuh dalam sistem yang materialistik, transaksional, oportunis dan pragmatis. Dan dalam perspektif Islam, sistem dengan produk undang-undang rusak ini harus ditolak dan haram untuk diterapkan ditengah-tengah umat. []