Indonesia “Tersandera” Kepentingan Ekonomi As – China. Islam Solusinya

Last Updated: 14 November 2020By

Oleh : Haris Abu Muthiah.

Arah politik ekonomi Indonesia setelah kunjungan Menlu AS untuk  menandatangani kesepakatan pengelolaan laut Cina Selatan di pulau Natuna semakin tidak jelas. Negara yang dikenal zamrud khatulistiwa ini tengah ‘dikepung’ dua kepentingan raksasa ekonomi, yakni AS dan Cina.

AS merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Bahkan menjadi negara tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia setelah Cina. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor non-migas ke AS sepanjang Januari-September 2020 capai 13,05 miliar dolar AS. Sedangkan, ekspor ke Cina sebesar 20,43 miliar dolar AS (republika, 9/11/2020).

Sejak rezim Jokowi kebijakan-kebijakannya memang lebih banyak menguntungkan Cina. Kebijakan ekspor biji nikel misalnya,  selama ini ada 3 negara yang bersaing untuk menghimpun nikel untuk bahan baku baterai mobil, yaitu Jerman, Japan, dan China.  Awalnya  pemerintah melarang  ekspor nikel hingga 2022 namun awal Januari 2020 kembali diberlakukan.

Patut diduga karena Cina sudah menerapkan 35 persen electric vehicle-nya pada 2025. Itu berarti Cina harus segera membutuhkan bahan baku baterai berupa nikel sesegera mungkin.  Artinya kebijakan tersebut sedang menolong China memenangkan persaingan antara Jepang dan Jerman.

Begitupun  dengan investasi sektor jasa,  menurut ekonom Institute for Development on Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, Indonesia memberikan fasilitas terhadap barang-barang impor asal Cina. Nilai investasi untuk pergudangan, transportasi, dan telekomunikasi mencapai Rp 108,4 triliun, setara 17,7% dari jumlah realisasi investasi yang masuk ke Indonesia.

Ini sejalan dengan realisasi impor di sepanjang Januari hingga September 2020. Di periode itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan impor non-migas dari Cina mencapai US$ 28,22 miliar, setara dengan 30,32% dari total nilai impor Indonesia.

Anehnya, semua investasi tersebut tidak memberi nilai tambah, justru lebih menguntungkan Negeri Tirai Bambu itu. Sebab, barang-barang Cina cenderung kompetitif dibanding negara lain. Harga barang lebih murah akibat produksi massal. Memang ada perbaikan investasi seperti logam sehingga memperkuat produksi. Tapi nyatanya Indonesia impor baja.

Bagaimana dengan AS?, AS sejak puluhan sudah menguasai sektor strategis. Di bidang tambang, AS merupakan salah satu pemain utama di Indonesia. Misalnya, Freeport McMoran di Papua. Perusahaan ini mampu memproduksi tambang per hari mencapai 220.000 ton biji mentah emas dan perak. Pendapatan tahun 2019 capai Rp1,75 miliar dolar AS itu pun sudah turun Rp 4 miliar dolar dibanding tahun-tahun sebelumnya (tirto.id,09/1/2019) atau kira-kira Rp 17,650 triliun bila kurs Rp 14.120. 

Selain Freeport, masih ada Newmont, perusahaan asal Colorado, Amerika, yang mengelola beberapa tambang emas dan tembaga di kawasan NTT dan NTB. Realisasi PNBP sektor minerba dari pada tahun 2015 mencapai 56,76% atau Rp 29,3 triliun dari target Rp 52,2 triliun. Sedangkan dari tahun 2016 hingga 2019, realisainya 117,75 persen atau 162,33 triliun dari target yang ditetapkan oleh pemerintah (detik.com,24/6/2020)

Belum lagi sederet operator migas yang rata-rata kelas kakap sebagai mitra pemerintah mengelola blok migas. Chevron, memiliki jatah menggarap tiga blok, dan memproduksi 35 persen migas Indonesia.  Conoco Philips yang mengelola enam blok migas  dan beroperasi 40 tahun di Indonesia, termasuk  produsen migas terbesar ketiga.  Ada juga Exxon Mobil yang bersama Pertamina menemukan sumber minyak 1,4 miliar barel dan gas 8,14 miliar kaki kubik di Cepu, Jawa Tengah.

Eksistensi perusahaan-perusahaan AS di negeri ini dipastikan akan semakin kuat hegemoninya di bawah kendali Joe Biden. Presiden Jokowi telah memberikan ‘lampu hijau’ saat memberikan ucapan selamat atas kemenangan Biden dan wakilnya Kamala Harris. “Saya menantikan kerja sama dengan Anda untuk memperkuat hubungan Indonesia dan Amerika Serikat di bidang ekonomi, demokrasi, dan multilateralisme,” kata Jokowi dalam akun Twitter-nya, Ahad (8/11) seperti diansir Republika (Senin,9/11/2020). 

Hanya saja Cina tidak akan tinggal diam. Cina adalah negara yang  sangat aktif mencari sumber energi non-migas dari negara lain, termasuk Indonesia. Salah satu investasi besar mereka di Indonesia adalah bidang batu bara. Selain itu, SDA seperti nikel dan bauksit juga diincar perusahaan-perusahaan Cina.

Perusahaan tambang skala menengah dan besar Cina bergerak di seluruh wilayah. Mulai dari Pacitan, Jawa Timur, sampai Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara.
Salah satu perusahaan besar adalah PT Heng Fung Mining Indonesia yang berinvestasi di bidang nikel, di Halmahera, Maluku, dengan target produksi bisa mencapai 200 juta ton.

Petro Cina, perusahaan migas pelat merah China juga mengelola beberapa blok. Salah satu yang baru ini tersorot adalah 14 blok di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yang disegel pemerintah setempat karena persoalan CSR.

Masuknya hegemoni AS-China begitu mudah di Indonesia karena dua negara ini menjadikan Indonesia sebagai peluang bisnis besar. Indonesia sendiri sudah ‘terpenjara” dengan  dua kepentingan besar negara ini, mundur kena maju kena. AS punya kepentingan besar mempertahankan dan memperkuat perusahaan yang sudah puluhan tahun  dikuasai, sedangkan Cina berupaya bagaimana  menguasai lini strategis, seperti UU minerba, dan UU PMA lainya, tujuannya agar posisinya semakin kuat dan tidak memiliki pesaing lain.

Strategi yang dimainkan Cina untuk menguasai ekonomi Indonesia sangat strategis. Cina sudah diuntungkan dengan UU Omnibus Law yang salah satunya mengatur kemudahan Tenaga Kerja Asing (TKA) masuk Indonesia. Dari 98.902 TKA pada tahun 2020, China menduduki peringkat pertama, yaitu 35.781 orang atau setara 36,17%. AS hanya diposisi ketujuh setelah Philipina atau  2.596 orang.

Apa dampaknya dari banyaknya tenaga kerja Cina?. Ya, mematikan perusahaan-perusahaan lokal. Inilah yang terjadi pada pabrik Semen di Kalimantan. Bosowa sudah tidak mampu bersaing harga di Kalimantan, sejak hadirnya Anhui Conch milik Cina, dengan membangun pabrik di Kalimantan.  Anhui Conch berani membanderol Rp 630 ribu per ton jika dibayar cash, dan jika kredit dihargai Rp 650 ribu ton. Bosowa membanderol di harga Rp 840 ribu per ton.

Mengapa Anhui Conch menjual murah?, Ya, cosh operasionalnya hemat dan cosh produksinya ditekan. Mengapa cosh bisa ditekan?, karena tenaga kerja yang bekerja itu juga yang ikut membangun pabrik semennya. Konsumsi karyawannya setiap hari hanya makan bubur dan sayur. Kantornya tidak mewah karena hanya terbuat dari triplek dan van blower saja (Koran BUMN, 28/2/2020).

Strategi hegemoni ekonomi yang dilancarkan baik AS maupun Cina di Indonsia saat ini wajar adanya dalam sistem kapitalisme, mengapa?, karena seperti itulah strategi negara-negara  kapitalisme untuk menguasai ekonomi sebuah negara demi meraih keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan jika tidak mampu menguasai secara  ekonomi maka negara tersebut tidak segan-segan memaksa dengan kekerasan perang, seperti yang dilakukan AS di Irak berapa tahun lalu.

Lalu mengapa semua  ini terjadi?, Ya, karena sistem ekonominya adalah kapitalisme. Sistem yang memberi ruang sebesar-sebesarnya kepada para pemilik pemodal untuk memberi kekuasaan sebesar-besarnya. Merekalah yang memberi dukungan dana kepada para calon penguasa saat pemilu. Artinya, ketika mereka terpilih dan menjadi Presiden maka itu hanya  presiden ‘boneka’ yang mengikuti apa keinginan tuannya.

Nah disinilah letak bedanya dengan sistem Islam. Islam sebagai agama dan sistem kehidupan memiliki konsep kepemilikan yang jelas, baik kepemilikan individu, umum, dan negara. Islam tidak membatasi individu memiliki kekayaan tapi tegas melarang memiliki harta milik umum, seperti tambang, laut, air, listrik, jalan tol, dan lain sebagainya. Kepemilikan umum tidak boleh diserahkan kepada swasta atau negara-negara kapitalis untuk dikuasai tapi semuanya dikelola dan dikuasai oleh negara,  dan seluruh hasilnya hanya untuk kepentingan seluruh rakyatnya.

Karena itu agar negara ini mandiri mengelola seluruh sumber daya alamnya, rakyatnya sejahtera, negara-negara kapitalis tidak bebas menghegemoni, maka tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada sistem Islam. Kalau itu terjadi maka seluruh penghasilan Freeport setiap tahunnya minimal Rp17.650 triliun (asumsi tahun 2019) akan dinikmati oleh seluruh penduduk negeri ini. Pendidikan, kesehatan, listrik, air semuanya gratis tanpa harus memungut pajak dari rakyatnya. Itupun baru satu tambang. Luar biasa kan!

Wallahu a’lam bi ash shawab