Indonesia Tak Pernah “Merdeka”

Last Updated: 17 Agustus 2020By

Aliansi Pengusaha Muslim – Vladimir Lenin pada tahun 1917 membuat sebuah buku dengan judul Imperialism is Highest Stage of Capitalism (imperialisme adalah tahap tertinggi kapitalisme).

Menurut Lenin fungsi modal keuangan dalam penciptaan keuntungan melalui imperialisme adalah tahap perkembangan kapitalisme terakhir yang menjamin laba sebesar-besarnya.

Dengan kata lain kapitalisme pada akhirnya menuntut imperialisme kepada negara lain untuk mewujudkan keuntungan ekonomi negara besar kapitalisme.

Kita tidak sedang memperjuangkan ideologi Lenin karena sosialisme-komunisme yang diusung Lenin juga ideologi yang banyak kecacatan. Tapi apa yang disampaikan Lenin tentang kapitalisme adalah benar.

Dan saat ini kita sedang mengalaminya. Indonesia sebagai negara berkembang menjadi objek jajahan/imperialisme negara-negara kapitalis.

Adalah menjadi rahasia umum Indonesia dibuat tergantung dengan lembaga keuangan dunia maupun negara-negara besar dengan program utang luar negeri.

Kini di saat serangan pandemi covid-19 Indonesia juga menderita. Pertumbuhan ekonomi minus 5,32%. Indonesia masuk kedalam resesi teknikal. Atas pandemi yang terjadi, nyaris tak banyak yang bisa dilakukan. Defisit melebar lebih dari 6% dari PDB. Penerimaan negara juga merosot.

Biaya penanganan kesehatan maupun pemulihan ekonomi nasional terus membesar. Penjualan surat utang menjadi pilihan.

Sebagai negara dunia ketiga dan negara berkembang, kapitalisme membuat negara-negara ini sebagai sapi perah. Potensi yang dimiliki semisal sumber daya alam tidak bisa dinikmati secara langsung. Negara seperti ini, termasuk Indonesia, seolah hanya bisa mempersilakan negara lain (negara maju) masuk untuk mengeksploitasi. Yang dikenal dengan istilah investasi.

Terus apa yang didapat negara dieksploitasi ini? Pajak dan terbukanya lapangan pekerjaan.

Kapitalisme neoliberal melalui teori trackle down berharap “tetesan” dari kegiatan ekonomi para kapitalis di puncak piramid akan turun ke bawah. Kepada pekerja, buruh, dan pelaku usaha kecil lainnya. Inilah invisible hand yang dijanjikan kapitalisme mengatur distribusi kemakmuran.

Namanya tetesan tentu nilainya kecil. Itupun kalau benar ada yang menetes. Di sinilah terlihat tidak adilnya kapitalisme dan pada akhirnya menjadi cacat bagi kapitalisme.

Kita melihat praktik ini pada berbagai kebijakan pemerintah mempermudah investasi asing melalui RUU omnibus law atau lainnya. Padahal bentuk relasi seperti ini adalah bentuk penjajahan model lain.

Para investor dapat dengan mudah menguasai aset-aset bangsa yang menguasai hajat hidup orang banyak. Belum lagi prinsip kapitalisme neo-liberal yang mengharuskan penihilan peran pemerintah yang kemudian menuntut privatisasi BUMN, pencabutan/pengurangan subsidi, hingga pembukaan lapangan kerja untuk WNA.

Secara ideologi, Indonesia digiring menjadi pelayan. Kita lihat bagaimana pemerintah melayani sedemikian rupa perusahaan asing agar mau membangun pabrik di Batang Jawa Tengah. Harga tanah dibuat murah sedemikian rupa. Bahkan gratis.

Kita yang punya lahan, kita yang punya sumber daya alam, kita yang punya pasar, kita pula yang jadi buruh.

Dengan konsep seperti ini, kapan kita benar-benar kaya? Hanya mengharapkan upah. Bukan pemilik itu sendiri.

Padahal dengan konspe kapitalisme, para kapitalis (pemilik modal) bagaimanapun tidak bisa dikalahkan. Itu artinya kapitalisme men-setting agar negara objek eksploitasi selamanya akan menjadi objek eksploitasi. Mungkin demikianlah yang dimaksud Lenin.

Momen kemerdekaan dan momen tak berdayanya kita menghadapi pandemi covid-19 semestinya membuka mata bahwa mestinya kita kuat secara ekonomi. Kesulitan yang dihadapi Indonesia bermula dari lemahnya kemampuan ekonomi. Yang merupakan akibat proses panjang dijadikannya Indonesia sebagai objek eksploitasi negara-negara kapitalis.

Momen ini mestinya menghentikan sistem ini bukan malah membuka pintu selebar-lebarnya para kapitalis masuk. Wallahua’lam. [] pujo nugroho