Ilusi Kesejahteraan, Bangun Negara Dengan Pajak
Agan Salim
Rencana pemerintah yang akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada sembako, jasa pendidikan, serta jasa layanan rumah sakit, mulai dari dokter umum hingga persalinan mendapat protes keras dari banyak kalangan.
Rencana itu tertuang dalam Rancangan Undang-Undang atas perubahan UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). (CNN Indonesia, 14/06/2021).
Walaupun Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menjamin bahwa kebijakan PPN sembako tidak akan menyentuh kebutuhan masyarakat yang dijual di pasar tradisional dan hanya menyasar barang kebutuhan pokok berjenis premium.
Demikian halnya dengan rencana pungutan PPN sekolah. Mereka menjamin, PPN sekolah tak akan dikenakan pada sekolah negeri.
Ada tiga alasan kebijakan ini diambil, Pertama, merespons pandemi Covid-19, yang membuat penerimaan kas negara tertekan hebat. Kedua, tarif PPN yang dipatok sebesar 10% terlalu rendah jika dibandingkan negara lain. Ketiga, struktur penerimaan negara dari PPN yang selama ini PPN berkontribusi 42% terhadap penerimaan negara. (CNN Indonesia, 14/06/2021).
Jargon keadilan dan kesejahteraan sering jadi alibi, padahal sejatinya inilah wajah sistem kapitalisme neoliberal yang di adobsi, dimana pajak adalah andalan utama pemasukan negara.
Sebenarnya rancangan ini bukan barang baru, Dana Moneter Internasional (IMF) pernah merilis hasil assesment terhadap perekonomian Indonesia dalam laporan bertajuk Article 1v Consultation tahun 2019.
IMF menyoroti kinerja penerimaan negara ini yang masih rendah terutama pajak. Untuk mengatasi itu IMF merekomendasikan, strategi penerimaan jangka menengah atau Medium Trem Revenue Strategi (MTRS) untuk diterapkan pemerintah khususnya Direktoral Jendral Pajak (DJP).
MTRS tersebut oleh IMF dinyatakan mampu meningkatkan pendapatan negara sekitar 5% di PDB selama 5 tahun ke depan, untuk membiayai belanja prioritas infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan jaring pengaman sosial.
Tentu saja kebijakan di atas tidak hanya tidak tepat, tapi juga berpotensi menzalimi umat. Bagaimana tidak, negeri yang subur dan memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah mulai tambang emas, nikel, batu bara dan lautan membentang luas.
Yang harusnya mampu untuk mensejahterakan rakyatnya tanpa harus membebankan beraneka pajak kepada rakyat sebagai pendapatan negara.
Pajak yang dibebankan ke rakyat dalam konteks negara yang kaya akan sumber daya alam seperti negeri ini, lebih tepat diposisikan sebagai kezaliman yang dibungkus dengan peraturan. Yang alih-alih mensejahterakan rakyat, faktanya rakyat semakin terbebani dan terzalimi.
Kezaliman seperti ini sungguh tidak akan kita jumpai dalam sistem ekonomi Islam. Karena Islam melarang seluruh bentuk pungutan. Apapun yang di ambil oleh negara, dari rakyatnya harus memiliki landasan atau legislasi syar’i. Allah swt.berfirman ”Dan janganlah sebagian kamu, memakan harta sebagian yang lain diantara kamu, dengan jalan bhatil.”(al-Baqarah:188 )
.
Dan sabda Rasulullah saw. “Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai/pajak “ (Hr.ahmad ad-dammi dan abu ubaid).
Dalam sistem ekonomi Islam, pemasukan negara akan dikelola oleh Baitul Mal, Baitul Mal sendiri memiliki pos-pos pemasukan yang berasal dari fai, kharaj, usyur, dan harta milik umum atau pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang di alihkan menjadi milik Negara.
Kalaupun akan ada kebijakan pajak oleh negara, maka ini adalah opsi terakhir-pun dengan sifatnya yang sementara dan tidak permanen. Besarannya-pun harus sesuai dengan kebutuhan Baitul Mal yang mendesak pada waktu itu saja, sehingga pemungutan pajak tidak dilakukan secara massif, permanen, dan tanpa pandang bulu yang mengakibatkan rakyat terzalimi seperti saat ini. []