Ibnu Khaldun Dan Substitusi Peradaban
Aliansi Pengusaha Muslim – “Peradaban besar tidak dibunuh, mereka mencabut nyawanya sendiri”, demikian kesimpulan sejarawan Arnold Toynbee dalam magnum opusnya, “A Study of History”. Dan realitas inilah yang sedang terjadi, krisis kesehatan dan ekonomi akibat wabah virus corona terus menguat, dan memberikan kejutan sistemik yang secara permanen mengubah sistem internasional dan keseimbangan kekuasaan seperti yang kita ketahui selama ini.
“Bagi para sejarawan, ini bukan konklusi baru. Ini adalah cerita yang sangat familier di sejarah dunia bahwa setelah jangka waktu tertentu kekuasaan akan merosot,” kata Timotny Garton Ash, profesor di Pusat Studi Eropa Universits Oxford.
Dan yang paling pas mengambarkan mengabarkan kondisi saat ini adalah apa yang ditulis oleh Abdurrahman Ibnu Khaldun, beliau dikenal bapak ekonomi islam (father of economic) yang hidup di paruh akhir abad ke-14 atau sekitar 600 tahun lalu dalam karya masterpiece-nya yang berjudul Al-Muqaddimah.
Dalam kitab Al-Muqaddimah, yang mengulas hampir seluruh jenis ilmu pengetahuan, merupakan kitab pengantar dari Kitab Al-‘Ibar. Kitab ini menjadi bukti bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang polymath, yakni ilmuwan yang memiliki kepakaran lebih dari satu disiplin ilmu. Dalam pemikiran ekonominya Ibnu Khaldun memiliki beberapa teori yang terdiri atas teori produksi, teori nilai uang, dan harga, teori distribusi, teori siklus.
Kitab ini berisi lebih dari 1000 halaman tersebut, dan tentang wabah beliau membahasnya sekitar empat paragraph, yang salah satu paragrafnya beliau menulis, “Peradaban, baik di barat maupun di timur disambangi wabah mematikan. Menghancurkan bangsa-bangsa dan memangkas populasinya. Melahap dan menyapu bersih banyak kemewahan peradaban. Wabah itu menggulingkan kerajaan dipenghujung umur, saat mereka mencapai batas tenggat mereka. Mengurangi daya dan membatasi pengaruh. Melemahkan kewenangan sementara situasi bangsa-bangsa itu mendekati titik kemusnahan dan tercerai-berai”
Ibnu Khaldun memandang kekuasaan kerajaan dan bangsa-bangsa semacam entitas yang punya siklus kejayaan dan kejatuhan. Dalam cara pandang itu, ia menilai wabah adalah satu jalan pintas merombak tata dunia yang dideranya.
Secara optimistis, ia menilai dari kehancuran yang diakibatkan wabah terhadap kekuatan-kekuatan di dunia akan memunculkan dunia yang baru, tata dunia yang baru. “Saat terjadi pergantian kondisi secara umum, seperti seluruh ciptaan ikut berubah dan dunia dibentuk ulang seperti baru. Sebuah dunia baru akan mewujud,” tulis Ibn Khaldun.
Lalu pertanyaannya kemudian, tata dunia baru seperti apa yang akan dimunculkan setelah ini ?
Menarik apa yang pernah ditulis olehnya di kitab Al-Muqaddimah, ia mengungkapkan bahwasanya adanya suatu negara atau kekuasaan itu merupakan tabiat dari peradaban, karena pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial dan pasti saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya demi untuk mempertahankan hidup. Tentu dalam berhubungan antara satu dengan yang lainnya akan berpotensi menimbulkan sebuah konflik. Agar konflik tersebut bisa diselesaikan, maka butuh seorang pemimpin yang menerapkan aturan-aturan.
Dari sini Ibnu Khaldun membuat kajian bahwa adanya pemimpin yang mempunyai aturan-aturan yang menjaga hubungan antar manusia satu dengan yang lainnya adalah sebuah keniscayaan, dan inilah yang dinamakan sebuah negara, kekuasaan atau peradaban ‘hadharah’. Sehingga ia memetakannya menjadi 3 model pemerintahan.
Pertama, pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat
Kedua, pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan dan orang pandai. Bentuk Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu.
Ketiga, pemerintahan yang berlandaskan Agama (siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian.
Menurut Ibnu Khaldun model pemerintahan ketiga inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran Agama, khususnya Islam, maka kepala Negara disebut Khalifah dan Imam. Khalifah adalah pengganti Nabi dalam memelihara kelestarian agama dan kesejahteraan duniawi rakyatnya. Imam sebagai pemimpin di ibaratkan Imam Sholat yang harus diikuti oleh rakyatnya sebagai makmum (Muqaddimah: 191).
Dari pembagian pemerintahan di atas, tampak jelas bahwa Ibnu Khaldun menempuh jalur baru dibanding Al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’ dalam pengklasifikasian pemerintahan. Ia tidak memandang pada sisi personalnya saja, melainkan lebih luas pada makna fungsional. Sehingga menurutnya substansi setiap pemerintahan adalah “undang-undang”atau aturan yang menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan. [] Agan Salim