Hutang Ngadat & Apbn Kian Berat, Indikasi Sistem Kian “Sekarat”
Agan Salim
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat defisit APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) hingga Januari 2021 mencapai Rp45,7 triliun atau 4,5% dari patokan dalam APBN 2020 senilai Rp1.006,4 triliun. Realisasi defisit anggaran itu setara dengan 0,26% PDB.
Kondisi ini kian di perparah dengan laporan keuangan beberapa BUMN yang terjun bebas bahkan rugi. Waskita Karya misalnya yang merugi hingga Rp 7 triliun. (30/3/2021)
Meruginya BUMN ini di tanggapi oleh Dahlan Iskan “Pekerjaan infrastruktur memang gegap gempita tahun-tahun terakhir. Tapi bisnis tetaplah bisnis: punya perilakunya sendiri. Dan perilaku itu bersumber dari satu napas: uang,” ujar Dahlan dikutip Jumat (2/4/2021) dari blog resminya Disway.id.
Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) periode 2011-2014 ini meyakini adanya ramalan dari para ekonom mengenai ketahanan BUMN Infrastruktur tinggal tunggu waktu. Menurutnya posisi BUMN itu sulit atau sulit sekali.
Jurus untuk mendapatkan suntikan dana/uangpun sebagai solusi jangka pendek untuk atasi kesulitan likuiditas ini bukan perkara mudah disaat kondisi ekonomi dunia yang serta tidak pasti saat ini. Produk investasi yang diterbitkan dan dijamin oleh pemerintah (SBN) yang dibuat ritel dengan tujuan untuk memberi kesempatan buat masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan negarapun ternyata kurang diminati.
Faktanya, saat ini Bank Indonesia (BI) tercatat pembeli terbesar SBN dengan total pembelian Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp473,42 triliun per 15 Desember 2020. CNN Indonesia (18/12/2020). Dan tentu akan terus meningkat di tahun 2020 ini sesuai arahan dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) sekaligus Kepala Bappenas Suharso Monoarfa sempat merancang skenario pembiayaan fiskal untuk mengatasi tekanan virus corona. Dalam skenario itu, Bank Indonesia (BI) membeli Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp1.595 triliun dalam beberapa tahun ke depan.
Aksi beli SBN pemerintah oleh Bank Indonesia ini buan tanpa ancaman bagi ekonomi negeri ini. Ekonom senior M. Chatib Basri mengingatkan bahwa pembelian obligasi oleh BI memiliki risiko yakni meningkatkan inflasi. Risiko itu, jelasnya, memang tak terelakkan di tengah situasi saat ini. Dan bila size-nya amat besar maka inflasi akan naik tajam dan juga akan memukul ekonomi kita, ungkapnya.
Kondisi yang kian sulit ini bila terus berkelanjutan dan tidak tertangani dengan baik bisa membuat negeri ini memasuki yang namanya depresi ekonomi yang dalam dan kemunduran ekonomi (resesi).
Pemulihan ekonomi yang lama dan dalam Menurut Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti INDEF akan cukup menakutkan.
“Kalau depresi terjadi dampaknya bisa mengulang seperti tahun 1930, terjadi kelaparan massal karena daya beli anjlok, pengangguran naik signifikan dan runtuhnya berbagai sektor khususnya yang padat karya,” ujar Bhima.
Dengan kondisi saat ini, Indonesia juga bisa mengalami pemulihan ekonomi yang lebih lama dengan kurva berbentuk huruf K atau K shaped recovery. Ini terjadi karena sektor usaha yang pulih tidak merata. Ada yang bisa pulih dengan cepat karena usahanya bisa memanfaatkan situasi pandemi dan ada yang terpuruk dan belum bisa bangkit.
Dari aspek meningkatnya angka kemiskinan juga tidak kalah mengkhawatirkan. Ridho Al Izzati, peneliti dari SMERU Research Institute, menjelaskan dampak depresi pada kenaikan angka kemiskinan karena tingkat kemiskinan tergantung dari pertumbuhan ekonomi secara total.
“Jika terjadi kontraksi maka akan berdampak terhadap peningkatan tingkat atau jumlah orang miskin, terlepas dari sebagian sektor mampu pulih dengan baik dan yang lain tidak,” kata Ridho. Kekhawatiran itu sejalan dengan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan September 2020 itu mencapai 10,19% naik dari kondisi di awal pandemi yaitu 9,78% di Maret 2020. Dan angka ini diprediksi akan terus akan terus naik.
Dari fenomena kondisi ini, kita bisa melihat bahwa kondisi negeri ini tidak dalam kondisi baik-baik saja, bahkan justru diambang kebangkrutan.
Dan ini semua bukan hanya teknis ekonomi semata, ada framework sistem besar kapitalisme dibelakang ini semua, ini bisa dilihat dari instrument solusi yang masih mengunakan pendekatan utang dan stimulus ekonomi yang lebih menyelamatkan pemodal besar ketimbang stimulus buat UMKM dan sektor petanian.
Sehingga teramat penting untuk negeri ini menepuh langkah-langkah fundamental untuk keluar dari ancaman kebangkrutan saat ini. Berharap dengan sistem kapitalisme yang teramat mendewakan uang dan pemodal jelas bukan solusi, apalagi dengan gurita oligarkinya.
Sehingga solusi yang paling rasional saat ini ada dipenerapan ekonomi islam secara praktis, sebagai bagian teringerasi dari Sistem Islam yang mangatur semua lini kehidupan manusia, alam semesta, dan kehidupan tanpa terkecuali aktivitas teknis perekonomi sebuah negara.[]