How Capitalism Die
Oleh : Agan Salim.
Saat ini di banyak negera, para kapitalis (oligarki) besar secara substansi telah mengambil alih negara, mereka lebih kuat ketimbang politikus. Praktek demokrasi memang terlihat terjadi, namun bukan “dari rakyat, untuk rakyat,oleh rakyat” karena demokrasi pada zaman globalisasi hanya sebuah metode pemilihan melalui pungutan suara. Sejati kekuasaan pemerintah terbelenggu dan bergantung kepada mereka para kapitalis.
Implikasinya kian terlihat sangat jelas. Kapitalisme menjadi ‘raja’ yang harus dilayani oleh negara, yang semua keinginannya harus dikabulkan meski harus mengorbankan rakyat. Di negara-negara maju (Eropa barat, Amerika Serikat, Kanada dan Jepang) kiat-kiat yang dipakai kapitalisme dalam wujud perusahaan multinasional telah benar-benar menggerogoti demokrasi sampai ke akar-akarnya sedemikian rupa sehingga demokrasipun akhirnya mati.
Noreena Hertz penulis buku “The Silent Takeover” pada tahun 2001, memberikan gambaran tergadainya demokrasi. Bagi Hetrz, demokrasi sudah mati karena ia telah diambil alih oleh kapitalisme global. Sudut pandang kapitalisme yang sempit, mengasumsikan bahwa manusia merupakan makhluk yang hanya memikirkan bagaimana caranya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Dan banyak para analis menduga kooptasi demokrasi sebagai alat penjajahan para kapitalis bermula pada tahun 1979, sebuah tonggak ekonomi-politik yang dicanangkan oleh Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher dan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen. Tonggak itu adalah radikalisasi kebijakan liberal yang memungkinkan reduksi intervensi negara, privatisasi BUMN, reduksi proteksi sosial dan pelemahan serikat buruh. Kebijakan ini memberikan kekuasaan penuh kepada tangan-tangan perusahaan dan negara memperoleh saham dengan mengorbankan demokrasi.
Walhasil, saat ini para politisi memang dipilih rakyat, tetapi begitu terpilih, politisi tidak peduli lagi dengan konstituennya. Para politisi malah sibuk menjadi pelayan bos-bos perusahaan multinasional (kapitalis). Apapun yang mereka minta dikabulkan, seperti pengurangan pajak, pengendalian serikat buruh dan pemberian aneka fasilitas impor maupun ekspor. Kebijakan yang merugikan rakyat, merusak lingkungan, kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan adalah hal yang teramat biasa dan lumrah.
Bahkan negarapun terkesan hanya ditugaskan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif dan menarik bagi mereka. Peran negara pada skala luas adalah menyediakan sarana publik dan infrastruktur yang diperlukan mereka untuk kepentingan harga rendah dan melindungi sistem perdagangan bebas dunia.
Melihat realitas tersebut mengantarkan kita pada sebuah kongklusi bahwa kapitalisme sesungguhnya merupakan sistem yang sama sekali gagal dan tidak mampu menjamin kelangsungan hidup umat. Bahkan realitas itu menunjukkan bahwa kolusi antara pengusaha dan penguasa telah menyebabkan matinya demokrasi yang tak lain adalah senjata andalan para olirgarki disistem kapitalisme saat ini.
Kolusi antara penguasa dengan pengusaha pada akhirnya mematikan harapan umat kepada pada penguasa. Umat yang telah putus asa tersebut akhirnya tidak melihat lagi ada jalan lain yang bisa membuat penguasa mendengar mereka, selain menyuarakan pergantian sistem yang bisa menciptakan kesejahteraan. Dan semua itu adalah tanda bahwa kapitalisme sedang menuju kematiannya dengan caranya sendiri yang telah memiliki cacat bawaan sistem. Selalu menafikan adanya aturan pencipta dalam tata kelola negara, ia dibekali dengan sifat serakah manusia yang akhirnya merusakan tatanan kehidupan manusia abad ini.
Sinyalemen kuat matinya kapitalisme bukanlah pendapat baru, hal tersebut pernah diungkap oleh Profesor Asad Zaman dari International Islamic University Islamabad Pakistan yang menyebutkan bahwa keruntuhan hegemoni barat sudah tiba masanya. Profesor Asad Zaman yang juga berwarga negara AS itu mengatakan bahwa mayoritas masyarakat barat pendukung kapitalisme saat ini telah kehilangan orientasi dalam mencari apa yang disebut kebahagiaan. Dia mengatakan bahwa kapitalisme telah mati sejak lama. Hanya saja banyak orang yang tidak sadar akan keadaan ini.
Dan Umat Islam menjadi buta oleh kenikmatan rancangan kapitalisme sehingga tidak sadar bahwa sesungguhnya sistem ini telah hancur. Kita perlu untuk kembali kepada sistem terbaik yang dirancang khusus untuk rahmatan lil ‘alamin. Bukan cuma untuk umat Islam saja. Tetapi, untuk semua umat manusia pungkasnya.
Umat Islam sebagai umat terbaik punya solusi jitu dan paripurna untuk menyelesaikan masalah kehidupan ini, umat Islam bukanlah Eropa abad pertengahan yang harus menjadikan manusia sebagai pemegang kedaulatan menggantikan Allah. Umat Islam tidak pernah mengalami penindasan sebagaimana yang dialami rakyat Yunani oleh teokrasi Romawi saat mereka menggunakan aturan dari Allah SWT.
Bagi kita umat Islam, cukuplah kembali secara kaffah dalam penerapan syariah dan tata kelola kehidupan saat ini sebagai solusi fundamental dan paripurna. Dan apa yang terjadi akan kerusakan umat manusia abad ini adalah pembenar dari firman Allah SW,
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50). Wallahu a’lam