Categories: Editorial

assalim

Share

Oleh Pujo Nugroho

Assalim.id – Media asal Amerika Serikat (AS), The New York Times, pada Sabtu (17/7/2021) menyatakan bahwa Indonesia menjadi episentrum baru Covid-19 di dunia.

Selama dua hari berturut-turut, jumlah kasus Covid-19 harian di Indonesia melampaui India dan Brasil dengan lebih dari 50.000 kasus dalam sehari (Kompas.com, 18/7/2021).

Di Indonesia, kasus dan kematian akibat Covid-19 meroket tajam dalam sebulan terakhir karena varian Delta yang sangat menular. Dalam satu hari akibat Covid-19 di Indonesia pada Minggu (18/7/2021) tercatat sebagai yang paling tinggi di dunia.

Menurut data yang dikutip dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19, pasien yang meninggal dunia Minggu (18/7/2021) bertambah 1.093 orang. Dengan demikian, total kasus kematian Covid-19 tembus 73.582 orang (cnnindonesia.com, 19/7/2021).

Tentu hal ini menjadi keprihatinan kita semua. Angka-angka tersebut adalah angka nyawa manusia yang tentu saja sangat berharga. Satu demi satu berguguran wafat dan menimbulkan problem-problem besar lainnya seperti ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.

Bahkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin jujur mengakui bahwa dirinya tidak tahu kapan pandemi Covid-19 akan berakhir.

Lalu bagaimana Islam memandang hal ini?
Islam sebuah aturan yang diturunkan Allah Ta’ala untuk mengatur seluruh kehidupan dengan berbagai perangkat aturan yang mulia tentu mencakup pandangan keselamatan nyawa manusia.

Dalam pembahasan maqashid syari’ah (tujuan/hikmah penerapan syari’ah) Islam menghadirkan penjagaan jiwa (hifzhun nafs) dan juga penjagaan lainnya (penjagaan agama, penjagaan akal, penjagaan keturunan, dan penjagaan harta).

Konsep hifzhun nafs ini terlihat dari banyaknya nash Alquran dan juga hadits yang memerintahkan umat Islam untuk menjaga jiwa. Salah satunya di dalam sebuah ayat yang berbunyi,

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (TQS Albaqarah: 179).

Qishash sendiri adalah hukuman sanksi yang diberikan terhadap pelaku kejahatan terhadap fisik manusia sebagaimana yang telah dilakukan terhadap orang lain. Qishash membuat manusia berpikir berkali-kali ketika hendak mencelakai orang lain karena akan diberikan balasan yang serupa karena itu disebut pada ayat di atas dalam qishash ada jaminan kehidupan.

Hifzhun nafs tidak saja pada persoalan prefentif hukum sanksi (pencegahan kejahatan) tetapi juga bagaimana negara ketika terbelit wabah penyakit. Dalam praktiknya pernah dilakukan Umar bin Alkhaththab yang menahan pasukannya masuk ke negeri Syam karena Tha‘un Amawas.

Ketika menjadi Khalifah, Umar juga mengerahkan segala sumber daya negara untuk menghentikan bencana paceklik yang mematikan. Mengapa? Karena hifzhun nafs, Islam menjaga keselamatan jiwa manusia.

Karena itu hifzhun nafs menjadi sebuah napas dalam menjalankan negara di mana keselamatan jiwa manusia adalah hal yang utama. Negara akan mengatur bagaimana pandemi bisa dikendalikan dan segera diakhiri.

Negara juga tidak akan pernah meremehkan angka-angka kematian yang melonjak-lonjak semakin tinggi. Demikianlah Islam memandang bagaimana jiwa manusia.

“…dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…” (TQS Almaidah: 32).

Wallahua’lam. []

Editor's Pick

    Leave A Comment

    Related Posts