Hedonis Dan Koruptifnya Pejabat Publik, Bagaimana Islam Memandangnya?
Ulasan Utama Assalim.id
Oleh Pujo Nugroho
Assalim.id – Sedang hangat pemberitaan tentang gaya hidup hedonis pejabat publik khususnya pejabat pajak. Bermula dari netizen yang mengekspos gaya hidup anak pejabat pajak yang telah terlibat perkelahian. Dari kasus tersebut terungkap bahwa anak pejabat yang gemar flexing dan gaya hidup hedon di media sosial tersebut anak dari pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Tak sedikit yang curiga dengan harta sang ayah yang mencapai lebih dari Rp56 M. Bahkan KPK sempat memberi komentar bahwa kekayaan orang tuanya itu tidak sesuai dengan profil pekerjaannya.
Tidak cukup sampai di sana, Menteri Keuangan Sri Mulyani terus dibuat pusing. Belum kelar soal bongkar-bongkaran jejak digital anak pejabat di atas muncul lagi berbagai foto aksi klub motor gede (moge) para pegawai pajak. Komunitas moge yang dimaksud bernama Belasting Rijder DJP, sekali lagi klub ini beranggotakan pegawai DJP.
Sebagai informasi, Belasting Rijder berasal dari Bahasa Belanda dengan Belasting yang berarti pajak dan Rijder yang berarti pengendara. Warganet meradang dan terluka dengan berbagai foto aksi Dirjen Pajak Suryo Utomo bersama anggota klub lainnya yang sedang mengendarai moge bersama klub BlastingRijder DJP.
Yang membuat publik heran bagaimana mereka bisa lolos kasus suap dan korupsi padahal dilihat gaji dan tunjangan mereka tidak mungkin memiliki harta sedemikian banyak. Namun demikianlah di negara ini mereka bisa bersih dan mampu berkelit.
Pandangan Islam
Paham hedonisme tak lepas dari paham sekuler sebagai biang keroknya. Pemahaman sekulerisme telah memisahkan peran agama dalam kehidupan bahkan menjadikan manusia bebas tanpa batas. Meski sudah dibuat aturan sedemikian ketat namun tetap lolos. Bahkan makin jeli melihat celah. Hingga tidak ada bukti apapun karena itu tidak bisa dijerat.
Secara faktual, dalam Islam penegakan hukum (syariat Islam) memerlukan tiga pilar, yakni ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan kewenangan negara. Untuk mewujudkan penerapan syariat secara optimal diperlukan ketiga pilar tersebut sekaligus. Tidak bisa hanya salah satu atau dua saja.
Ketakwaan individu adalah pilar dasar. Dari sinilah, dorongan penerapan hukum (Islam) berasal. Individu yang bertakwa adalah muslim yang dengan dorongan imannya tunduk kepada syariat. Kemudian, ia akan melaksanakannya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, baik di saat sendiri maupun ketika bersama orang lain. Ia menyadari bahwa dengan melaksanakan syariat, misi hidupnya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala dapat diwujudkan secara nyata. Dengan itu pula, ia bisa mengharapkan keridhaan Allah, ampunan, pertolongan, serta kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Bila ada yang paling ditakuti, maka itu adalah murkanya Allah.
Bagi orang yang bertakwa, melaksanakan syariat sama sekali tidak dirasakan sebagai beban. Justru sebaliknya, ia akan merasa amat berat bila harus meninggalkan syariat. Dengan melaksanakan syariat, ia merasakan kelezatan dan kenikmatan. Sebaliknya, meninggalkan syariat merupakan siksakan yang terasa pahit dan menyiksa.
Dalam Islam sarana untuk mempertahankan keimanan tersebut di atas terus dihadirkan negara. Negara juga mendorong individu dan masyarakat untuk saling menyemangati. Apa-apa yang bisa merusak keimanan akan dihalangi oleh negara.
Akan tetapi, takwa individu saja tidak cukup karena tanpa kontrol dari masyarakat bisa saja individu yang semula taat pada syariat, karena berbagai faktor dengan mudah melakukan maksiat. Kontrol masyarakat muncul dari semangat amar ma’ruf nahi munkar, yakni keinginan agar orang lain juga bersedia tunduk pada syariat dan terhindar dari maksiat.
Salah satu ciri keimanan seorang muslim memang adalah adanya keinginan agar orang lain merasakan kebaikan sebagaimana yang dirasakannya. Tegasnya, kontrol masyarakat sesungguhnya berpangkal pada cinta dan rasa solidaritas pada sesama. Dengan kontrol dari masyarakat, orang yang akan melanggar syariat tidak mungkin dapat melakukannya secara leluasa. Apalagi kontrol masyarakat tersebut bukan semata lahir dari kepentingan pribadi, melainkan mewujud dari akidah. Allah Subhanahu wata’ala dalam banyak ayat menunjukkan bahwa salah satu ciri orang beriman adalah senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Sebaliknya, dalam kehidupan jahiliah di mana syariat tidak diterapkan, individu yang bertakwa menjadi berat melaksanakan syariat, merasa asing, dan mengalami godaan terus-menerus untuk meninggalkan syariat. Di sisi lain, dalam kehidupan seperti itu, justru orang yang tidak bertakwa bisa hidup leluasa, bebas, serta seolah mendapatkan dukungan dari lingkungan dan negara untuk mengabaikan syariat. Bahkan, amat sering terjadi, negara jahiliah justru memerangi muslim yang bertakwa yang berusaha mengamalkan syariat.
Profil ketakwaan individu dan kontrol masyarakat maupun negara banyak kita dapati dalam berbagai catatan sejarah mewarnai indahnya penerapan Islam.
Abu Bakar r.a. misalnya, dalam suatu riwayat disebutkan, tatkala ia menjadi Khalifah pada suatu hari isterinya bermaksud membeli manisan. Melihat ada uang yang terkumpul dari hasil menyisihkan tunjangannya sebagai Khalifah, Abu Bakar berujar,
“Wahai istriku, uang ini ternyata cukup banyak. Aku akan serahkan uang ini ke Baitul Mal, mulai besok kita usulkan gaji khalifah dikurangi. Karena kita telah menerima gaji melebihi kebutuhan sehari-hari,” kata Abu Bakar.
Juga Khalifah Umar bin Khaththab yang sering sekali menanyakan harta pejabat di bawahnya. Tercatat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sewaktu menjadi pejabat di Bahrain juga pernah ditanya oleh Umar. Juga pejabat-pejabat yang lain. Sedemikian rupa Umat menjaga agar tidak ada penyelewengan.
Juga bukan berarti dalam Islam pejabat dibuat menderita. Jika harta yang didapat merupakan harta yang halal maka Negara tidak akan menyita untuk diserahkan ke Baitu Mal. Seperti halnya pada peristiwa Abu Hurairah di atas yang pada akhirnya hartanya tidak disita.
Terkait gaji dan tunjangan Negara juga akan memenuhi kewajibannya kepada pejabat negara. Pada masa kekhalifahan beliau radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah menunjuk Abdullah bin As-Sa’di untuk mengurus harta shodaqoh, dan ketika Abdullah bin As-Sa’di telah menyelesaikan tugasnya, Umar pun memberi upah kepadanya, meski Abdullah bin As-Sa’di menolak sembari berkata,
“Sesungguhnya aku bekerja sedangkan balasanku dari Allah”.
Lalu Umar menjawab, “Ambillah pemberianku ini, karena dulu aku bekerja di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau pun memberi upah hasil kerjaku, lalu aku pun mengatakan seperti ucapanmu (tadi). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Jika engkau diberi sesuatu tanpa meminta maka makanlah dan bersedekahlah (dengannya)’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dan yang lainnya).
Umar juga pernah memberi harta kepada Said bin Amir yang merupakan wali di kota Homs. Umar mengutus pembantunya untuk memeriksa kondisi rumah Said bin Amir. Pembantu Umar mengabarkan bahwa sudah cukup lama di rumah Said bin Amir tidak menyala api di tungkunya.
Umar pun menangis atas kesederhanaan Said bin Amir. Kemudian ia mengirimkan sebanyak seribu dinar dan berpesan melalui pembantunya,
“Sampaikan salamku kepadanya dan katakan kepadanya bahwa Amirul Mukminin mengirimkan harta ini agar kamu bisa menggunakannya untuk memenuhi kebutuhanmu,” pesan Umar.
Pada akhirnya harta tersebut disedekahkan Said bin Amir bersama isterinya semuanya.
Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Pilar penerapan syariat Islam, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan aturan Islam oleh Negara itu sendiri menyebabkan semua terjaga dengan baik. Penyelewengan sangat-sangat kecil peluangnya terjadi. Di sisi lain manusia terpenuhi fitrahnya.
Dan yang penting lagi semua dalam rangka bagian dari ibadah. Suatu hal yang tidak mungkin didapat di luar Islam.[]