Hantu ‘Kebangrutan’ Dibalik Kecanduan Utang, Waspadalah!

Last Updated: 16 Januari 2021By

Haris Abu Muthiah
Assalim.id I Fokus Utama

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikenal istilah kecanduan yang berarti kejangkitan suatu kegemaran hingga lupa hal- hal yang lain. Dalam masalah utang juga ada istilah kecanduan utang,  biasanya orang yang kecanduan tidak akan berhenti berhutang hingga benar-benar terjadi gagal bayar. Kecanduan seperti ini juga terjadi pada level negara.

Perhatikan berapa utang pertama pemerintah Indonesia. Ketika Belanda resmi mengakui  kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) dan  bersedia menyerahkan kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949-ternyata  Belanda memprsyaratkan Indonesia  harus membayar utang pada Belanda sebesar  6,5 miliar Gulden (kompasiana.com, 28/12/2019).

Sejak itulah Indonesia terus menambah utang luar negeri. Hadi Soesastro dan Aida Budiman dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1945-1959,  menyebutkan bahwa pada Agustus 1956  Indonesia memperoleh pinjaman IMF sebesar US$55 juta karena berkecamuknya inflasi yang disebabkan defisit anggaran meningkat dan cadangan devisa menurun tajam.
Lalu berapa utang Pemerintah Indonesia saat ini apakah menurun atau bertambah?. Dikutip dari APBN  November 2020, posisi utang pemerintah pusat per akhir November 2020 berada di angka Rp5.910,64 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 38,13 persen (Bisnis.com, 23/12/2020).

Ternyata tidak berhenti sampai disitu, tampaknya dalam beberapa tahun kedepan sepanjang pemerintahan Jokowi diperkirakan utang luar negeri akan terus bertambah. Tahun 2021 pemerintah sudah menargetkan rasio utang sebesar 41,09 persen terhadap PDB.  Pembiayaan utang ditargetkan sebesar Rp 1.177,35 triliun (kompas.com. 2/10/2020). 

Jika model pengelolaan keuangan seperti ini tetap dipertahankan, maka akhir periode Presiden Jokowi utang luar negeri akan  tembus di angka Rp. 10 ribu triliun lebih, dengan asumsi setiap tahun pembiayaan utang luar negeri sebesar Rp 1.000 triliun hingga 2024. Dihitung dari tahun 2021 yang mencapai Rp7.087,99

Wajarlah jika dalam masalah utang ini sesuai publikasi laporan  Statistik Utang Internasional (IDS) Bank Dunia beberapa waktu lalu, Indonesia berada pada peringkat keenam negara berpenghasilan rendah dan menengah yang  memiliki utang luar negeri terbesar.

Tapi ini dianggap prestasi Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati. Buktinya beliau dinobatkan sebagai   Finance Minister of the Year for East Asia Pacific tahun 2020 versi Majalah Global Markets. Rizal Ramli mengatakan itu karena kebijakannya selalu menguntungkan asing.

Kondisi ini tentu berbeda dengan menkeu-menkeu hebat di negara maju Asia, seperti Singapura, Korsel, Jepang dan lainnya yang tidak pernah mendapat hadiah menteri keuangan terbaik. Ini lantaran mereka pelit dengan lembaga peminjaman asing. (m.jpnn.com 4/1/2019)

Mengapa Pemerintah Indonesia terus berutang?. Selain karena  pendapatan hanya bertumpu pada pajak yang terus menerus turun, alasan klasik yang selalu disampaikan pemerintah  bahwa komposisi utang   masih wajar karena   UU No. 17/2003 mengatur batasan maksimal rasio utang hingga 60 persen.

Sebenarnya batas aman rasio utang tersebut tidak relevan dengan kondisi Indonesia. Menurut ekonom Anthony Budiawan bahwa sejarah batas rasio 60 persen di UU Keuangan Negara tersebut diadopsi dari Maastricht Treaty tahun 1992 dalam rangka menyelaraskan fiskal negara-negara Uni Eropa.

Angka 60 persen diperoleh dari dua kali tax ratio negara-negara Uni Eropa saat itu yang rata-rata sebesar 30 persen. Terbukti, negara seperti Argentina yang sempat terkena krisis mata uang di tahun 2018 ternyata rasio utang terhadap PDB nya 57 persen. Bandingkan dengan  realisasi tax ratio Indonesia pada 2019 hanya sebesar 10,73%.

Begitu juga, kata aman untuk jumlah utang sebesar itu sebenarnya tak bisa hanya dibandingkan dengan jumlah PDB yang ada. Pasalnya, aman atau tidaknya jumlah utang yang telah ditarik bukan hanya dilihat dari kemampuan negara tersebut membayar utangnya, tapi sejauh mana  produktivitasnya.

Nyatanya utang luar negeri pemerintah berbanding terbalik dengan tingkat penurunan kemiskinan. Berdasarkan data analis Assalim, M Hatta, dalam outlok ekonomi 2021, menyebutkan bahwa pertumbuhan utang negara dalam 10 tahun terakhir dari 2010 hingga 2020 mencapai 378,93 persen tapi kemiskinan hanya turun 31,73 persen hingga Maret 2020.

Padahal jika dikelola dengan baik masalah kemiskinan bisa diselesaikan sejak tahun 2018 tanpa harus menambah utang baru. Jika jumlah penduduk miskin 120 juta jiwa, rata-rata jumlah anggota keluarga 4 orang,  maka total rumah tangga miskin 30 juta.

Bila diasumsikan bantuan modal kerja atau buat rumah sekitar Rp100 juta maka total anggaran yang dibutuhkan Rp3.000 triliun. Lalu dari mana sumber anggarannya?, ya dari potongan APBN 25 persen pertahun selama delapan tahun, mulai tahun 2011 hingga 2018. Jika ini konsisten dilakukan maka alokasi anggaran kemiskinan mencapai Rp.3.042 triliun.

Karena itu saatnya pemerintah menyadari bahwa utang tidaklah membawa kebaikan dan membawa keberkahan di negeri ini. Saatnya tabiat buruk  berutang dihentikan sebelum negara ini benar-benar jatuh dalam jurang kebangrutan. Sudah banyak bukti negara bangrut karena gagal bayar utang. Jangan sampai terjadi di negeri ini.!

Pada 2001, Argentina dinyatakan bangkrut gara-gara gagal bayar utang negara USD 100 miliar. Pada 2008, Zimbabwe,  salah satu negara miskin di Afrika  terlilit utang sebesar USD 4,5 miliar. Pengangguran mencapai 80 persen. Penduduknya berhenti membayar pajak dan tak lagi menggunakan mata uang nasional sebagai alat transaksi jual belinya.

Yunani secara resmi telah menyandang status negara bangkrut sejak 30 Juni 2015 lalu. Total utang Yunani sendiri sejauh ini tercatat berjumlah USD 360 miliar atau setara Rp 5.255 triliun (kurs rupiah Rp 14.593).  Begitu juga dengan krisis Venezuela juga karena terlilit utang. Utangnya luar negeri dan domestik  pada 2014 mencapai 55 persen dari PDB.

Saatnya kecanduan buruk berutang dihentikan karena utang
hanya akan menambah keburukan dan membuat pelakunya akan mudah terjerumus dalam kebiasaan berbohong dan berdusta, bahkan sering tidak menunaikan amanah. Rasulullah SAW bersabda“Sesungguhnya, apabila seseorang terlilit utang, maka bila berbicara ia akan dusta dan bila berjanji ia akan ingkari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Saatnya negara fokus bekerja menyelesaikan persoalan bangsa yang semakin multidimensi. Saatnya fokus mengembalikan SDA yang dikuasai oleh Asing dan tidak lagi sibuk mengambil utang baru untuk menutupi utang lama. Ingat! Indonesia adalah negara kaya yang memiliki SDA tak terbatas.

Belajarlah pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang sukses membawa wilayahnya berlimpah harta dan rakyatnya sejahtera tanpa utang. Tidak ada lagi rakyatnya yang mau menerima zakat, infaq, sadaqah. Semuanya sejahtera. Negara menikahkan pemuda yang tidak mampu. Negara memberi nafkah para janda tetapi harta negara tetap berlimpah.          ,

Ingatlah pesan beliau, “Aku wasiatkan kepada kalian agar tidak berutang, meskipun kalian merasakan kesulitan, karena sesungguhnya utang adalah kehinaan di siang hari kesengsaraan di malam hari, tinggalkanlah ia, niscaya martabat dan harga diri kalian akan selamat, dan masih tersisa kemuliaan bagi kalian di tengah- tengah manusia selama kalian hidup.” (Umar bin Abdul Aziz Ma’alim Al Ishlah wa At Tajdid, 2/71)

Wallahu a’lam bi ash shawab.