Gurita Oligarki Petinggi Negeri, Hanya Bisa Dihentikan Dengan Sistem Islam

Last Updated: 1 Januari 2021By

Oleh Agan Salim.

“Jurus Gagal” orang baik masuk dalam pusaran “Sistem rusak” Kapitalisme sekuler adalah gaya lama yang terus dipertahankan. Padahal fakta membuktikan bahwa strategi ini lebih kental nuansa tarik-menarik kepentingan kolega politik daripada jargon untuk kepentingan rakyat. Tentang pola-pola politik transaksional ini jauh-jauh hari pernah diungkap oleh Ekonom senior Rizal Ramli yang menyatakan, demokrasi yang dihasilkan dari berjalannya reformasi selama 20 tahun adalah demokrasi kriminal.

“Demokrasi kriminal menghasilkan kemakmuran buat elite, bukan kemakmuran buat bangsa. Ini bukti bahwa reformasi gagal membawa mayoritas rakyat kita makmur,” Terlebih lagi dengan adanya demokrasi kriminal dan ekonomi neoliberal sebagai pintu masuk bangsa ini semakin rusak. Sehingga “Siapapun orang baik, yang masuk sistem demokrasi ini jadi rusak,” pungkasnya. (rmol 21.05/2018).

Banyak pihak yang pesimis akan “bongkar pasang” petinggi negeri ini bukanlah tanpa alasan, lihat saja gurita korupsi struktural di negeri ini yang kian mengkhawatirkan. Temuan utama evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GNPSDA-KPK) tahun 2019 yang menyebutkan, praktik gurita korupsi sumberdaya alam di Indonesia masih berakar kuat pada masalah kelindan praktik ‘korupsi menyandera negara’ (state-captured corruption) dengan lemahnya fungsi otoritas kelembagaan negara.

Hal ini akibat dari kuatnya praktik kuasa ‘institusi alternatif’ oleh suatu jaringan yang dipelihara kekuasaan ‘di luar negara’ (beyond state), yang secara de facto lebih besar daripada kekuasaan legal negara. Jejaring inilah yang kita sebut dengan oligarki korporasi. Kokohnya gurita oligarki korupsi menjadi faktor kekuatan utama pendorong pergeseran bentuk korupsi, dari satu jenis korupsi bersifat institusional (institusional corruption) menjadi korupsi lebih bersifat struktural (structural corupption). Satu bentuk korupsi yang bersemayam dalam gugusan sistem dan relung-relung struktural praktik kebijakan dan regulasi dari otoritas kekuasaan. Yang dengannya akhirnya tercipta relasi kekuasaan ekonomi-politik yang makin mempermulus pelipat-gandaan kekayaan pribadi, keluarga, kelompok, dan para kroni oligarki.

Secara historis, kekuatan gurita oligarki ini bukanlah hal baru dalam jagat politik negeri ini. Riwayat trajectory mereka terbentang sejak rezim Orde Baru. Meski rezim Orde Baru runtuh, menurut R. Robison dan Vedi R. Hadiz dalam, “Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market” (2004), warisan kuasa oligarki ekonomi dan politik pada dasarnya tidak ikut tumbang. Oligarki yang dibesarkan oleh rezim Soeharto terus bertransformasi dengan menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong skema neoliberalisme, seperti demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi yang berkelindan dengan agenda politik negara.

Dan yang lebih memprihatinkan, realitas gurita oligarki ini tidak akan bisa diatasi dengan sistem yang ada kini, hal ini diungkap oleh Ford & Pepinsky dalam analisisnya 2014 dengan judul Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesia Politics

Menurut mereka, gerakan yang kontra terhadap oligarki, seperti kelas pekerja, NGO dan lain-lain, tidak akan terlalu berarti dan kuat untuk melawan dominasi Oligarki. Mereka akan gagal dalam mengejar kepentingan mereka, karena kuatnya oligarki yang tidak bisa dikalahkan pengaruhnya. Kekuatan mereka karena memiliki kekayaan dan kekuasaan, hal ini akan menentukan demokrasi atau tokoh politisi yang muncul ke permukaan. Taruhlah seseorang yang hendak menduduki jabatan politik tertentu, baik presiden maupun kepala daerah, mereka tidak bisa memanjat jenjang itu sendiri. Mereka butuh elit-elit kaya yang memberi izin kepada mereka untuk memangku jabatan politik.

Bahkan Demokrasi (seperti pemilu) yang dipakai, sama sekali tidak merubah peran para sentral oligarki, cuma merubah perilaku oligarki. Dalam setiap kompetisi pemilihan umum, memang peran oligarki tidak secara langsung berkuasa, namun peran dan kekuasaan mereka dalam menentukan pemenang sangat dominan.

Pada titik inilah, negeri ini urgen diselamatkan dan butuh solusi paripurna yang permanen untuk menyudahi problem sistem gagal demokrasi yang telah berubah wujud menjadi gurita oligarki struktural. Problem ini bukan problem teknis politik ekonomi semata, tapi problem cacat bawaan Kapitalisme sekuler abad ini, disemua negara orbit Kapitalisme.

Dan solusi paripurna itu ada di Islam, karena punya Islam punya “success story” mengatasi oligarki Mekkah pada awal-awal Daulah Islam terbentuk. Bagaimana Rasullulah sebagai Kepala negara dan pemerintahan mengambil alih kepemilikan umum dan mendistribusikan kekayaan milik umum ini atas dasar Al Quran sebagai azas negara secara absolut dan mutlak.

Untuk pemerataan dan memutus peran oligarki Mekkah kala itu, Rasullulah membatasi akumulasi modal dan membatasi domestifikasi terhadap sumber-sumber vital kehidupan saat itu. Karena saat itu Oligarki Mekkah bukan cuma menguasai agrarian, tapi juga memegang hak atas sumber-sumber air yang begitu vital bagi kehidupan masyarakat gurun.

Untuk memperkecil disparitas si kaya dan si miskin, Rasullulah membentuk institusi Baitul Maal untuk membagi konsesi penggunaan tanah negara yang sebelumnya berlangsung sangat bebas. Kabilah-kabilah dilarang memonopoli tanah. Sehingga ketimpangan kesejahteraan dalam bentuk perbudakan dan kematian orang-orang miskin akibat kelaparan bisa diatasi.

Larangan oligarki sangat jelas terlarang dalam Islam, seperti firman Allah SWT., “….. supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya”. (QS. Al Hasyr: 7).

Dengan dalil dan realitas histori diatas, jelaslah bahwa tugas pemerintah adalah melakukan perimbangan ekonomi dengan cara mendistribusikan harta kepemilikan umum dan negara kepada umat, khususnya kaum fakir miskin sehingga mereka bisa lebih berdaya dalam menjalani kehidupan. Bukan malah sebaliknya, kebijakan pemerintah yang lebih pro si kaya atau kaum Neolib, yang jelas akan menyengsarakan rakyat dan jauh dari yang tujuan keadilan dan kesejahteraan yang jadi cikal bakal dari tujuan sebuah Negara. [AS]